Pengujian Undang-undang MD3
Gusti Kanjeng Ratu Hemas selaku perorangan (Wakil Ketua DPD RI), Djasarmen Purba, S.H., Ir. Anang Prihantoro dan Marhany Victor Poly Pua selaku Perorangan (Anggota DPD RI) memberikan Kuasa kepada DR. A. Irmanputra Sidin, S.H,.M.H, DKK para Advokat dan Konsultan Hukum pada Firma Hukum A. IRMANPUTRA SIDIN & ASSOCIATES (Advocate & Legal Consultants), untuk mengajukan permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sebagaimana Telah Di ubah Oleh Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan Perkara Nomor 109/PUU-XIV/2016 di Mahkamah Konstitusi RI.
Pasal yang diuji dalam UU MD3 :
Pasal 260 ayat (1) menyatakan :
“Pimpinan DPD terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPD dalam sidang paripurna DPD.”
Pasal 261 ayat (1) huruf i menyatakan :
“Pimpinan DPD bertugas: i. menyampaikan laporan kinerja dalam sidang paripurna DPD yang khusus diadakan untuk itu.”
Pasal 300 ayat (2) menyatakan :
“Tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku di lingkungan internal DPD.”
Alasan konstitusional bahwa terhadap masa jabatan Pimpinan DPD RI, dimana masa jabatan Pimpinan DPD RI dalam Undang-undang Nomor 17 tahun 2014 sebagaimana diubah dengan undang-undang Nomor 42 tahun 2014 tentang MD3 tidak memberikan kepastian mengikuti atau sama dengan masa jabatan keanggotaan DPD. Dengan begitu bahwa masa jabatan Pimpinan DPD RI bersifat multitafsir bisa ditafsirkan 5 (lima) tahun, 2,5 tahun, 1 tahun atau bisa lebih pendek lagi atau bahkan bisa lebih dari lima tahun atau bahkan seumur hidup karena jabatan pimpinan DPD RI tidak merujuk pada masa jabatan keanggotaan DPD RI yang 5 (lima) tahun sebagaimana periode pemilu. Bahwa penafsiran masa jabatan pimpinan DPD RI tersebut bisa lebih pendek atau lebih panjang sesuai dengan apa yang diputuskan melalui Paripurna. Kondisi tersebut menimbulkan tidak adanya kepastian hukum yang adil, sehingga hal ini tidak sesuai dengan prinsip demokrasi dan konstitusi.
Persoalan penafsiran terhadap masa jabatan yang menimbulkan ragam penafsiran haruslah diselesaikan dengan memberikan penafsiran yang benar yang memberikan kepastian hukum yang adil menurut konstitusi. Jikalau tidak, maka kejadian yang terjadi saat ini di DPD bisa menjangkiti kamar sebelahnya yaitu DPR bahkan MPR. Ketidakpastian hukum atau Ketiadaan kondisi konstitusionalitas masa jabatan bisa berimplikasi terhadap dunia politik yang akan melakukan pertengkaran internal guna saling menggulingkan kekuasaan dengan menggunakan rezim masa jabatan pimpinan. Hal ini akan bermasalah ketika diperhadapkan bahwa dogma sidang paripurna adalah forum tertinggi ketika undang-undang tidak mengaturnya secara jelas dan tegas akan masa jabatan pimpinan, maka parlemen akan dengan mudah mengatur dan memberlakukan masa jabatan pimpinan DPD.
Oleh karenanya kepastian mengenai batas waktu jabatan Pimpinan DPD perlu diatur dalam hukum yang sifatnya statis untuk menjaga dan menciptakan stabilitas dan kepastian hukum, perubahan hukum yang lentur akan menimbulkan ketidakpastian yang tentunya cenderung akan menimbulkan anarki (Putusan MK No.51-52-59/PUU-VI/2008). Bahwa persoalan masa jabatan Pimpinan lembaga DPD adalah persoalan konstitusional yang harus segera diselesaikan demi terwujudnya ketatanegaraan yang ajeg, kepastian hukum yang adil, dan demi stabilitas politik serta terwujudnya tugas dan fungsi lembaga legislatif yang konstan dan tidak terganggu.
Bahwa guna mengantisipasi hal tersebut sesungguhnya intensi konstitusi (constitutional intent) menunjukkan bahwa masa jabatan pimpinan kekuasaan legislatif mengikuti masa jabatan anggotanya, sebagaimana rezim pemilu / politik 5 tahunan yang telah ditegaskan lebih dulu melalui masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden dalam UUD 1945.Kekuasaan lembaga legislatif (MPR, DPR, DPR, dan DPRD) dan Eksekutif (Presiden) merupakan jabatan politik yang mengikuti rezim pemilu 5 tahunan. Artinya Pimpinan Kekuasan legislatif pun seharusnya mengikuti rezim pemilu 5 tahunan (Pasal 2 ayat (1), Pasal 7, Pasal 19 ayat (1), Pasal 22C ayat (1), Pasal 22E ayat (1), Pasal 22E ayat (2) UUD 1945). Pembatasan masa jabatan anggota MPR, DPR dan DPD kemudian didasarkan pada periode politik 5 tahunan/pemilu. Anggota MPR, DPR, dan DPD memperoleh sumber konstitusionalitas masa jabatan jelas berdasarkan pada periode politik pemilihan umum 5 tahun sekali. Pimpinan MPR, DPR dan DPD yang juga sebagai anggota MPR, DPR, dan DPD yang merupakan representasi lembaga MPR, DPR, dan DPD juga terikat dan dibatasi masa jabatannya dengan agenda demokrasi pemilu 5 tahun sekali.
Bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas jelas secara konstitusional masa jabatan Pimpinan DPD-RI adalah haruslah dimaknai sama dengan masa jabatan keanggotaan yaitu 5 (lima) tahun, dan materi masa jabatan ini sesungguhnya materi yang harus ditulis tegas minimal pada level undang-undang bukan pada aturan internal parlemen atau Peraturan Tata Tertib. Hal ini sudah ditegaskan dalam Putusan MK tentang pentingnya pembatasan pengaturan masa jabatan oleh lembaga bahwa: Untuk menentukan masa tugas pejabat negara sebagai pejabat publik harus ada kejelasan kapan mulai diangkat dan kapan saat berakhirnya masa tugas bagi yang bersangkutan agar ada jaminan kepastian hukum sesuai dengan kehendak konstitusi (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-VIII/2010).
Bahwa norma Pasal 261 ayat (1) huruf i UU MD3 adalah ketentuan yang mengatur tentang laporan kinerja Pimpinan DPD-RI. Ketentuan tersebut tidak mengatur secara tegas apakah laporan kinerja yang dimaksud adalah kinerja secara kelembagaan atau hanya khusus untuk kinerja pimpinan DPD-RI saja. Dengan demikian norma Pasal 261 ayat (1) huruf i UU MD3 tersebut, jelas tidak memberikan kepastian hukum dan bersifat multitafsir. Bahwa akibat ketidakpastian dan ketidakjelasan norma Pasal 261 ayat (1) dijadikan sebagai alasan pemberhentian pimpinan DPD RI ketika laporan kinerja ditolak, ketentuan tersebut sebagaimana Pasal 58 ayat (1), Pasal 59 ayat (1), (2), (3) huruf c dan ayat (5) Peraturan Tata Tertib DPD-RI No.1 Tahun 2016. Ketentuan tersebut berbeda dari ketentuan sebelumnya dalam hal ini Peraturan DPD No. 1 Tahun 2014 terkait dengan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas pimpinan DPD selama satu tahun tidak menjadi alasan pemberhentian Pimpinan, anggota DPD hanya dapat meminta penjelasan dan/atau memberikan penilaian atas laporan kinerja (vide Pasal 156 ayat (1) dan (3)).
Laporan kinerja oleh Pimpinan DPD dalam paripurna adalah kinerja yang dilakukan oleh seluruh alat kelengkapan DPD. Sama halnya seperti lembaga kepresidenan yang dipimpin oleh seorang Presiden dan Wakil Presiden yang setiap tahun bisa saja menyampaikan pidato laporan pelaksanaan kinerja tahunan. Bahwa terhadap pidato laporan pelaksanaan kinerja yang disampaikan oleh Presiden tersebut, anggota MPR tidak dapat menyatakan menolak pidato laporan pelaksanaan kinerja yang disampaikan oleh Presiden. Bahwa laporan pelaksanaan kinerja yang disampaikan oleh Presiden merupakan laporan gabungan dari kinerja semua lembaga-lembaga yang berada dibawah Presiden bahkan seluruh kinerja sistem pemerintahan yang ada. Walaupun MPR secara Konstitusional dapat memberhentikan presiden dalam masa jabatannya menurut UUD 1945 (Pasal 3 ayat (3) UUD 1945), namun hal tersebut tidak bisa dilakukan karena UUD 1945 telah mengatur pemberhentian Presiden melalui mekanisme konstitusional. Sejalan dengan itu terhadap laporan pelaksanaan kinerja pimpinan DPD dapat menyebabkan pimpinan DPD diberhentikan karena laporan kinerja ditolak oleh anggota DPD, bertentangan dengan prinsip perlindungan dan kepastian hukum yang adil (Pasal 28D UUD 1945).
Peraturan Tatib Tidak Dapat Berlaku Surut, Norma Pasal 300 ayat (2) UU MD3 memberikan kesan dan penafsiran karena hanya “berlaku dilingkungan internal DPD” seolah-olah memberikan ruang Peraturan Tata Tertib DPD-RI yang berlaku di internal DPD maka tidaklah erga omnes sehingga DPD dapat memberlaku surutkan berdasarkan animo politik bahkan despotism politik seolah menjadi halal.Norma pemberlakuan surut diberlakukan mengakibatkan hilangnya hak atas jabatan Pimpinan DPD-RI, yang sudah bersumpah berdasarkan keadaan hukum yang berbeda dengan keadan hukum peraturan tata tertib baru.
Sebagai catatan bahwa meski Peraturan Tatib adalah kewenangan DPD, namun bukan berarti ruang politik bebas hambatan, sehingga koridor konstitusi dan undang-undang bisa ditabrak sesuai kehendak politik mayoritas.Demokrasi kuantitatif harus tunduk pada demokrasi kualitatif, yaitu demokrasi yang berjalan pada rel konstitusi, kedaulatan ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945), demokrasi yang tunduk pada konstitusionalisme.
Ketentuan pemberlakuan surut masa jabatan Pimpinan DPD-RI telah menimbulkan permasalahan hukum, pemotongan masa jabatan 5 tahun hasil paripurna pada awal periode menjadi 2,5 tahun jelas tidak dapat dilaksanakan sehingga melanggar asas dapat dilaksanakan karena telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan melanggar hak anggota yang telah memilih dan bersamaan dengan hak dipilih anggota yang terpilih. Oleh karenanya praktek politik ketatanegaraan semakin hari semakin liar, karenanya pagar-pagar pembatas yang jelas dan tegas semakin harus ditulis dalam sistem konstitusionalisme kita. Ketentuan bahwa “Tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku di lingkungan internal DPD pada kenyataannya membutuhkan konfirmasi konstitusional bahwa tata tertib tersebut tidak berlaku surut”.
PETITUM POKOK PERKARA
Berdasarkan alasan-alasan yang telah diuraikan di atas, maka PARA PEMOHON memohonkan kepada Majelis Hakim Konstitusi yang Terhormat pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk memeriksa dan memutus Uji Materil sebagai berikut:
- Pasal 260 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) adalah sesuai dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional), yaitu konstitusional sepanjang dimaknai : “Pimpinan DPD terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPD dalam sidang paripurna DPD dengan masa jabatan sebagaimana masa jabatan keanggotaan DPD.”
- Pasal 260 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: “Pimpinan DPD terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPD dalam sidang paripurna DPD dengan masa jabatan sebagaimana masa jabatan keanggotaan DPD.
- Menyatakan Pasal 261 ayat (1) huruf i Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) adalah sesuai dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional), yaitu konstitusional sepanjang dimaknai : “Pimpinan DPD bertugas menyampaikan laporan kinerja kelembagaan DPD-RI yang tidak berimplikasi hukum terhadap pemberhentiannya sebagai Pimpinan DPD-RI, dalam sidang paripurna DPD yang khusus diadakan untuk itu”;
- Menyatakan Pasal 261 ayat (1) huruf i Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568), tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai : “Pimpinan DPD bertugas menyampaikan laporan kinerja kelembagaan DPD-RI yang tidak berimplikasi hukum terhadap pemberhentiannya sebagai Pimpinan DPD-RI, dalam sidang paripurna DPD yang khusus diadakan untuk itu”;
- Menyatakan Pasal 300 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) adalah sesuai dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional), yaitu konstitusional sepanjang dimaknai: “Tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku di lingkungan internal DPD dan tidak berlaku surut”;
- Menyatakan Pasal 300 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568), tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai:“Tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku di lingkungan internal DPD dan tidak berlaku surut”;
- Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).