Putusan MK Soal “LGBT”

Putusan MK Soal “LGBT”
Oleh: A. Irmanputra Sidin
Founder Law Firm A. Irmanputra Sidin & Associates
Keluarnya Putusan MK yang menolak gugatan pemohon dalam perkara PUTUSAN Nomor 46/PUU-XIV/2016 langsung kemudian disambut public bahwa MK seolah melegalkan LGBT. Hal ini perlu diluruskan, karena bisa menimbulkan kesalahpahaman yang fundamental. Perlu diketahui bahwa perkara ini adalah permohonan kepada MK, pada intinya adalah meminta penafsiran menyangkut masalah:
1. Zina, sebagaimana diatur dalam Pasal 284 KUHP, akan menjadi mencakup seluruh perbuatan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat dalam suatu ikatan perkawinan yang sah;
2. Pemerkosaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 285 KUHP, akan menjadi mencakup semua kekerasan atau ancaman kekerasan untuk bersetubuh, baik yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan maupun yang dilakukan oleh perempuan terhadap laki-laki;
3. Perbuatan cabul, sebagaimana diatur dalam Pasal 292 KUHP, akan menjadi mencakup setiap perbuatan cabul oleh setiap orang dengan orang dari jenis kelamin yang sama, bukan hanya terhadap anak di bawah umur;
Dari konstruksi perkara diatas memang hal yang menarik untuk dikabulkan atau sebaliknya. MK memang sudah lebih 10 tahun menerapkan putusan yang disebut konstitusional bersyarat atau inkonstitusional bersyarat terhadap suatu undang-undang. Putusan seperti ini bukanlah mengambil alih kewenangan pembentuk undang-undang namun putusan seperti ini tujuannya adalah guna memberikan jaminan kepastian hokum terhadap  sebuah norma, agar tidak menimbulkan multi interpretasi sehingga merugikan warga Negara, badan hokum hingga lembaga Negara dalam pelaksanaaanya.
Putusan bersyarat ini adalah paling realistis kebutuhan konstitusionalnya, karena biasanya pergolakan politik dibalik pembentuk undang-undang sering menimbulkan kompromi norma bahkan “plintiran” norma, yang ujungnya ketidakpastian. Penyebab lain putusan bersyarat bisa juga karena ketertinggalan sebuah norma oleh suatu keadaan atau tidak simetris dengan yang lainya, sehingga juga menimbulkan ketidakpastian hokum. Cara paling konstitusional menyelesaikannya bukanlah dengan membabat habis norma itu karena secara diametral norma itu tidak terang-terangan bertentangan UUD 1945 namun tidak memberikan kepastian makna. Solusinya adalah memberikan pemaknaan konstitusional akan norma itu guna kepastian hokum sebagai jaminan Negara hokum (Pasal 1 UUD 1945).
Pengujian pasal diatas, memang memiliki argumentasinya sendiri, karena alasan untuk menolak bisa terbangun bahwa permohonan diatas adalah kebijakan kriminalisasi terhadap sebuah perbuatan yang sebelumnya bukan kriminal sementara guna menentukan perbuatan itu kriminal atau tidak, ada pada konstruksi bangunan prinsip daulat rakyat bukan pada rekayasa hakim di pengadilan. Argumentasi ini akan bersandar pada asas legalitas, sehingga kemudian, MK bisa saja menolaknya, karena mengangggap bahwa pemaknaaan dalam lapangan hokum pidana  seperti ini bukan kewenangan MK karenanya tidak dapat menggunakan instrument konstitusional bersyarat atau inkonstitusional bersyarat. Bagaimanapun lapangan hokum pidana yang berakibat dikurangi bahkan dicabut kebebasan dan hak hidup orang harus bersumber pada konstruksi daulat rakyat, yaitu harus perumusan undang-undang tertulis  secara ketat, jelas dan tegas (lex stricta, lex scripta).
Dilain pihak,  pendapat lain jikalau  mendukung permohonan ini adalah bangunan argumentasi yang tidak kalah logisnya dengan menyatakan bahwa perbuatan zina , pemerkosaan, perbuatan cabul seperti kehendak makna pemohon diatas  adalah memang sejak dulu adalah kejahatan, berdasarkan nilai moral dan agama (mala in se) ,  bukanlah kejahatan baru yang diciptakan  karena kebutuhan negara (mala in prohibita). Oleh karenanya ketika bukan kejahatan baru, maka hal tersebut bisa masuk pada kondisi pemaknaan MK terhadap pasal yang diuji yaitu konstitusional atau inkonstitusional bersyarat.
Oleh karena dua argumentasi diatas, terjadi pertarungan  logis konstitusional sangat ketat ternyata pada saat pengambilan putusan, karena Arief Hidayat (Ketua MK), Anwar Usman (Wakil Ketua MK)  yang biasanya sering berada pada posisi mayoritas malah berada pada posisi minoritas (pendapat berbeda) bersama dengan  Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, dan Hakim Konstitusi Aswanto yaitu mengabulkan permohonan dengan basis argumentas mendukung diatas. Namun pilihan putusan Mayoritas yaitu Hakim Konstitusi Saldi Isra, I Dewa Gede Palguna, Maria Farida, Soehartoyo dan Manahan Sitompul, berargumentasi tidak melakukan perluasan makna criminal suatu perbuatan karena hal tersebut sepenuhnya wewenang DPR dan Presiden. Oleh karenanya putusan ini sesungguhnya hanya berisi “kemenangan mayoritas”  pertarungan logika konstruksi batas kewenangan MK dalam membentuk kebijakan hokum pidana, bukan yang lain.