Masa Jabatan Kepresidenan

Law Firm Sidin Constitution
A. Irmanputra Sidin & Associates

Keterangan Pers
”Judicial Review Masa Jabatan Kepresidenan”

DR. A. Irmanputra Sidin, S.H.,M.H.
Kuasa Hukum Drs. H.M. Jusuf Kalla (Wakil Presiden RI 2004-2009 & 2014-2019)

Bahwa pada tanggal 25 Oktober 2018, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan penarikan kembali (pencabutan) Permohonan mengenai masa jabatan Wakil Presiden yang diajukan oleh Partai Perindo selaku Pemohon dalam perkara No. 60/PUU-XVI/2018 (Ketetapan). Prinsipnya Kami yang pernah mengajukan sebagai Pihak Terkait menghargai sikap Pemohon yang menarik kembali Permohonannya.

Namun penting untuk kami jelaskan bahwa, pada prinsipnya penafsiran antara masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden memang perlu diluruskan, karena penafsiran umum yang ada bahwa “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama,hanya untuk satu kali masa jabatan” yang kemudian dijabarkan oleh penjelasan Pasal 169 huruf n UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang berbunyi, “yang dimaksud dengan “belum pernah menjabat 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama “adalah yang bersangkutan belum pernah menjabat dalam jabatan yang sama selama 2 (dua) kali masa jabatan, baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut, walaupun masa jabatan tersebut kurang dari 5 (lima) tahun”.

Secara tekstual gramatika maka penjabaran ini tidak ada yang keliru, namun, Konstitusi bukanlah rangkaian teks-teks yang takluk dan bertekuk lutut pada hokum Bahasa gramatika, karena tiada satupun tanda baca atau huruf sekalipun dalam konstitusi yang sebening Kristal. Setiap teks dan tanda baca itu harus punya ruh karena konstitusi itu hidup , hidup dalam denyut nadi kita saat ini dan generasi kedepannya dan Mahkamah Konstitusi-lah yang meniupkan ruh kehidupan itu dalam perjalanan zaman, kini dan kedepannya. Setiap teks konstitusi pasti harus berhubungan dengan konstitusi dan konstitusionalisme itu sendiri (pembatasan kekuasaan). Bahwa pembatasan periode masa jabatan, sesungguhnya seperti diketahui, yang disasar hanyalah jabatan Presiden karena merupakan organ tunggal pemegang kekuasaan (pasal 4 UUD 1945) dan sejarah reformasi diawali dengan isu ketiadaaan pembatasan periode masa jabatan sehingga dalam 32 tahun kita hanya memiliki satu orang Presiden namun kita memiliki kurang lebih 6 orang wakil Presiden.

Keinginan pembatasan periode masa jabatan Presiden tersebut ternyata oleh pembentuk UUD 1945 “ditempelkan” pada Pasal 7 UUD 1945. Akhirnya hokum Bahasa membenarkan penjelasan Pasal 169 huruf n UU pemilu, namun hokum konstitusi sesungguhnya tidak membenarkannya karena sesungguhnya yang dibatasi adalah pemegang kekuasaan saja, karena pemegang kekuasaan itulah yang berpotensi melakukan otoritarianisme. Tidak ada isu otoritarian institusi Wakil Presiden karena bukan pemegang kekuasaan (Pasal 4 ayat (2) UUD 1945), sehingga tidak ada rasio untuk membatasi periode masa jabatan Wakil Presiden.

Simulasinya jika merujuk Penjelasan Pasal 169 huruf n UU Pemilu, seorang Wakil Presiden yang sudah menjabat dua kali masa jabatan oleh UU, dilarang untuk menjadi Wakil Presiden ketiga kali, namun bisa menjadi Presiden (pemegang kekuasaan). Disinilah kerancuannya jikalau dikaitkan dengan logika otoritarianisme. Akibat hukum yang inkonstitusional lagi adalah seorang Presiden yang sudah menjabat dua periode , oleh UU a quo bisa menjadi Wakil Presiden lagi dan seandainya kemudian, Presiden pasangannya berhenti di tengah jalan, baik karena mangkat, berhenti atau diberhentikan, atau tidak dapat lagi melaksanakan kewajibannya maka oleh Konstitusi mengatakan Wakil Presiden yang akan menggantikan Presiden, sementara kita sudah membatasi maksimal dua periode untuk jabatan Presiden.

Artinya menurut UU Pemilu, seorang Presiden yang sudah dua periode, sesungguhnya bisa menjabat empat periode, melalui pintu sebagai Presiden terpilih (dua kali) dan pintu Wakil Presiden terpilih (dua kali). Disinilah terjadi tabrakan konstitusional yang dahsyat mengenai masa jabatan Presiden. Artinya, memang, esensi pembatasan maksimal dua periode tidak untuk jabatan Wakil Presiden tetapi semata untuk pemegang kekuasaan. Presiden yang sudah menjabat dua periode, menjadi Calon Wakil Presiden pun pada periode berikutnya seharusnya tidak diperbolehkan.

Namun, Kami sampaikan apresiasi kepada Pemohon yang telah memperjuangkan hak konstitusionalnya yang pada akhirnya menjadi bagian dari sejarah ketatanegaraan kita yang terus hidup dan tumbuh kembang di masa datang.

Jakarta, 25 Oktober 2018
A. Irmanputra Sidin
081288700702
IG @irmanputra_sidin
Twitter @IrmanputraSidin
www.sidinconstitution.co.id