Sekjen DPD Ungkap Alasan Ajak Loyalis OSO ke MA
Kamis 06 Apr 2017, 19:08 WIB
Jakarta – Sekjen DPD Sudarsono Hardjosoekarto menyatakan dialah yang meminta anggota DPD Gede Pasek datang ke Mahkamah Agung (MA) untuk membantunya memberikan penjelasan terkait dengan pemilihan pimpinan baru. Sebab, MA meminta detail argumentasi legalitas pengambilan sumpah jabatan terhadap Ketua DPD baru, Oesman Sapta Odang (OSO).
Sudarsono menyatakan dia datang ke MA untuk mengantar surat permintaan pengambilan sumpah terhadap Oesman dan dua Wakil Ketua DPD baru, Nono Sampono dan Darmayanti Lubis. Karena pergolakan di DPD cukup panas, dia menyebut pertemuan berlangsung cukup lama.
“Saya datang ke sana sekitar pukul 10.00 WIB (4 April 2017),” kata Sudarsono dalam perbincangan di kantornya, gedung Nusantara, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (6/4/2017).
Terpilihnya Oesman cs memang menuai kontroversi. DPD tetap melakukan pemilihan meskipun tatib pemangkasan masa jabatan pimpinan DPD telah dibatalkan oleh MA sehingga GKR Hemas dan Farouk Muhammad merasa masih memiliki kewenangan menjadi pimpinan DPD.
Rapat paripurna pemilihan pimpinan baru digelar dini hari, Selasa (4/4), saat Hemas dan Farouk telah keluar dari sidang paripurna, yang sebelumnya juga sempat ricuh. Sidang saat itu dipimpin oleh senator tertua, AM Fatwa, dan senator termuda, Riri Damayanti.
Permintaan pengambilan sumpah terhadap Oesman, Nono, dan Darmayanti tertuang dalam surat yang ditandatangani oleh Fatwa dan Riri. Sudarsono mengaku sempat berdebat dengan Wakil Ketua MA yang menerimanya, termasuk Suwardi. Suwardi inilah yang akhirnya memimpin sumpah jabatan Oesman cs.
“Dengan dua wakil ketua, saya berdebat dengan versi saya sebagai kesekjenan. Akhirnya diundang semua kepala-kepala kamar MA, ada yang kepala kamar bagian militer, PTUN, sama yang galak itu, Pak Artidjo (hakim agung Artidjo Alkostar, red). Saya sendiri sendirian,” ujarnya.
Sudarsono sebenarnya datang bersama seorang pejabat di Setjen DPD, Adam, namun diminta kembali ke kantor karena ada pekerjaan yang perlu dilakukan untuk Farouk Muhammad. Atas pertimbangan pribadi, dia lalu berinisiatif memanggil salah seorang anggota DPD yang ikut hadir dalam sidang pemilihan pimpinan DPD baru saat dini hari sebelum dia menghadap ke MA.
“Kalau nanti terus hasilnya tidak jadi dilantik, siapa saksinya? Setengah menyesal minta Pak Adam pulang. Saya izin, boleh nggak saya meminta salah satu saja yang ikut sidang. Pak Bambang Sadono, saya awalnya telepon, tapi nggak nyambung, nyambunglah Pak Pasek,” ucap Sudarsono.
“Setelah satu jam diskusi, saya merasa saya harus ada teman, saya posisi sangat sulit, di balik itu eksplisit saya katakan, kedatangan saya bukan kedatangan sederhana walau tugas kelembagaan yang sudah saya lakukan sebelumnya,” tutur dia.
Pasek pun datang setelah hampir pukul 12.00 WIB. Sekjen DPD memastikan Pasek datang atas permintaannya sebagai senator, bukan karena dia adalah politikus Hanura, yang artinya anak buah Oesman.
“Setelah ditunggu agak lama, Pak Pasek datang. Yang mengundang memang saya, harus ada yang menjelaskan, bukan hanya saya sendiri. Pak Pasek karena sebagai yang ikut sidang, Pak Farouk dan Bu Hemas nggak bisa (jadi saksi) karena nggak ikut sidang yang tengah malam itu. Walaupun Pak Farouk dan Bu Hemas misscalled saya,” kata Sudarsono.
Setelah mendengarkan penjelasan Sudarsono dan Pasek, MA kemudian meminta keduanya keluar. Mereka mengadakan rapat internal terlebih dahulu untuk mengambil kesimpulan akan permasalahan DPD tersebut.
“Akhirnya dijelaskan kesimpulan dari rapat tadi. Kesimpulan itulah yang akan disampaikan ke paripurna siang harinya, itu yang disampaikan ke Pak Pasek,” ucap dia.
Kesimpulan MA adalah mengenai perlu adanya landasan untuk pengambilan sumpah jabatan terhadap pimpinan baru. Setelah Sekjen DPD dan Pasek ke MA, DPD lalu menggelar rapat paripurna yang dilakukan secara tertutup. Paripurna itu mengatur tata tertib baru mengenai masa jabatan pimpinan DPD yang kembali menjadi 5 tahun, sesuai dengan putusan MA terkait dengan pembatalan tatib sebelumnya.
“Dilematis, kalau jadi dilantik, saya disukai A, tapi tidak disukai B. Kalau tidak jadi dilantik, saya tidak disukai A, tapi tidak disukai B,” tutur Sudarsono.
(elz/imk)