Press Release
“Permohonan Sebagai Pihak Terkait Dalam Perkara No. 60/PUU-XVI/2018”
Oleh:
A.Irmanputra Sidin, S.H.,M.H
Kuasa Hukum Drs. H.M. Jusuf Kalla
Wakil Presiden RI
Pada hari ini Jumat (20/07) Kami dari Law Firm Sidin Constitution A. Irmanputra Sidin & Associates selaku Kuasa Hukum Bapak H.M. Jusuf Kalla Wakil Presiden RI periode 2014-2019 dan 2004-2009, telah mendaftarkan Permohonan sebagai Pihak Terkait Atas Perkara No. 60/PUU-XVI/2018 tentang Pengujian Penjelasan Pasal 169 Huruf n UU Pemilu terhadap UUD 1945 terkait periode masa jabatan presiden dan wakil presiden.
Pendaftaran Permohonan ini, karena Kami menyadari tidak ada lagi warga Negara Indonesia selain Kami yang eligable untuk memberikan keterangan terhadap polemik Pasal 7 UUD 1945, “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama,hanya untuk satu kali masa jabatan”.
Kami juga tentunya harus memperhatikan parta-partai yang ingin mengusulkan Kami lagi sebagai calon wakil presiden. Selain itu, di dalam Perkara a quo juga terbangun dalil yang bersinggungan dengan kedudukan Kami yang pernah dan sedang menjabat dua kali jabatan Wakil Presiden tidak berturut-turut hingga saat ini. Oleh karenanya, Kami harus bersikap sebagai Negarawan dengan memberikan penjelasan kepada Yang Mulia Mahkamah Konstitusi melalui forum konstitusional untuk menjelaskan tentang jabatan wakil presiden yang pernah dan sedang Kami emban jabatannya saat ini. Kami juga tidak mengabaikan Putusan MK yang dialamatkan kepada Kami untuk menjelaskan perihal jabatan wakil presiden:
“ … setelah membaca konstruksi Pasal 169 huruf dan Pasal 227 huruf UU Pemilu hanya mungkin dapat dinilai telah menimbulkan kerugian konstitusional bagi seseorang yang pernah atau sedang menjadi presiden atau wakil presiden selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama tetapi tidak secara berturut-turut …” (Putusan MK No. 36/PUU-XVI/2018 (hlm.31)).
Bahwa munculnya Permohonan ini memang membuat kita semua harus kembali membuka dan membaca lebih jernih Pasal 7 UUD 1945. Kami akan mencoba membaca makna Pasal 7 UUD 1945 berdasarkan pengalaman Kami selama ini baik sebagai politisi, atau mantan peserta pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebanyak 3 (tiga ) kali maupun sebagai Wakil Presiden dua periode dengan dua Presiden yang berbeda. Pertanyaan pertama tentunya adalah apakah frasa “Presiden dan Wakil Presiden”, frasa “memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama”, serta frasa “hanya untuk satu kali masa jabatan” adalah frasa yang tidak ada keterkaitan dengan pasal-pasal lain dalam konstitusi?
Tentunya bahwa berdasarkan pengalaman Kami bahwa frasa-frasa dalam Pasal 7 UUD 1945 saling berkait dengan pasal lain yang ada dalam konstitusi, sehingga frasa-frasa tersebut memiliki makna filosofis historis normatif tersendiri yang tidak bisa dibaca secara otonom tanpa membuka ruang sejarah dan struktur organ negara serta norma dalam konstitusi.
Mungkin Kami mulai bahwa Apakah frasa “hanya untuk satu kali masa jabatan” dalam Pasal 7 UUD 1945 memang diperuntukkan untuk untuk frasa (jabatan) “Presiden dan Wakil Presiden”? Tentunya kalau kita menggali sejarah dan norma terkait bahwa munculnya frasa “hanya untuk satu kali masa jabatan” itu sesungguhnya terkait dengan institusi Presiden selaku organ negara tunggal pemegang kekuasaan pemerintahan. Hal ini sebenarnya sudah terkonfirmasi oleh Putusan MK No. 108/PUU-XVI/2012, paragraph [3.16] halaman 21-22 yang menyatakan :
“… Pembatasan masa jabatan Presiden tidak dapat dipersamakan dengan pembatasan yang sama untuk masa jabatan anggota DPR dan DPRD karena sifat jabatan dari kedua jabatan itu berbeda. Presiden adalah jabatan tunggal yang memiliki kewenangan penuh dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan, sehingga memang diperlukan adanya pembatasan untuk menghindari kesewenang-wenangan.
Seperti diketahui bahwa muncul frasa “hanya untuk satu kali masa jabatan” tersebut karena sebelum amandemen konstitusi lebih 32 (tiga puluh dua) tahun sejak Maret 1967 s.d Mei 1998 kita hanya memiliki satu orang Presiden (Soeharto). Kekuasaan Presiden yang hanya dijabat satu orang yang sama inilah kemudian menimbulkan bergulirnya isu penyalahgunaaan kekuasaaan yang berujung dengan reformasi 1998. Oleh karenaya kemudian muncullah semangat bahwa pemegang kekuasaan in casu Presiden maksimal cukup dua periode saja.
Sebagai catatan bahwa dalam kurun waktu tersebut Presiden Soeharto hampir setiap periode memiliki wakil Presiden yang berbeda-beda diantaranya Hamengkubuwono IX, Adam Malik, Umar Wirahadikusuma, Sudharmono, Try Sutrisno dan BJ Habibie.
Oleh karenya berdasarkan historis tersebut maka munculnya frasa “hanya untuk satu kali masa jabatan” tersebut adalah untuk mencegah berulangnya kekuasaan dipegang oleh satu orang Presiden dan dapat terus terpilih tanpa batas. Di satu sisi mengapa Jabatan Presiden tidak boleh dipegang terlalu lama , karena jabatan Presiden menurut konstitusi kita sejak dahulu adalah pemegang kekuasaan-pemerintahan (vide Pasal 4 ayat (1) UUD 1945).
Artinya bahwa esensi jabatan sebagai pemegang kekuasaan itu sehingga konstitusi harus membatasinya. Oleh karenanya sangat bisa dipahami Pasal 17 UUD 1945 tentang Kementerian Negara tidak pernah membatasi bahwa seseorang itu hanya bisa menjadi menteri selama dua periode, karena menteri bukanlah pemegang kekuasaan melainkan hanya pembantu Presiden (Pasal 17 ayat (1) UUD 1945).
Lalu tentunya muncul lagi pertanyaan bahwa jikalau memang Pasal 7 UUD 1945 hanya ditujukan kepada Presiden, mengapa harus ada frasa “Presiden dan Wakil Presiden”?. Bahwa munculnya frasa ini Kami alami sendiri sebagai orang yang pernah menjadi Calon Wakil Presiden dan Calon Presiden, hal ini karena konsekuensi logis dari dipilihnya Kami baik sebagai calon Presiden dan calon Wakil Presiden dalam 1 (satu) paket dalam pemilihan umum. Artinya bahwa frasa “Presiden dan Wakil Presiden” dalam Pasal 7 UUD 1945 adalah norma yang ditulis karena terkait dengan ketentuan rezim pemilu:
Pasal 6A UUD 1945.
- Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
- Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
Pasal 22E UUD 1945.
- Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali
- Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan wakil presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Jadi pencantuman frasa “Presiden dan Wakil Presiden” dalam Pasal 7 UUD 1945, sesungguhnya dalam rangka frasa “memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama”. Frasa yang terakhir ini adalah frasa yang lahir dari rezim pemilu (Pasal 6A dan Pasal 22E UUD 1945), dimana Kami punya pengalaman mengikuti pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebanyak tiga kali dan masa jabatan yang Kami emban ketika menjadi Wakil Presiden, setiap periodenya adalah 5 tahun. Kami pernah menjadi calon wakil Presiden bersama Bapak Susilo Bambang Yudhoyono (2004) dan Calon Wakil Presiden dari Bapak Joko Widodo (2014) bahkan pernah menjadi Calon Presiden bersama Bapak Wiranto (2009);
Bahwa kemudian muncul pertanyaan, mengapa frasa (jabatan)“wakil presiden” bukanlah nafas dari frasa “hanya untuk satu kali masa jabatan” (Pasal 7 UUD 1945) ?. Tentunya adalah wakil presiden yang hanyalah sebagai pembantu Presiden (Pasal 4 ayat (2) UUD 1945). Kami hanya pembantu Presiden yang tidak bisa mengeluarkan Peraturan Pemerintah, Peraturan Wakil Presiden apalagi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang serta deretan kekuasaan Presiden lainnya, karena memang desain konstitusional Kami hanya pembantu Presiden.
Oleh karennya sesungguhnya bahwa jabatan wakil presiden sesungguhnya dalam pengalaman konstitusional Kami adalah sama kedudukannya dengan jabatan Menteri Negara yang merupakan pembantu Presiden (Pasal 17 ayat (1) UUD 1945).
Lalu mungkin kemudian ada pertanyaan lain, mengapa hanya jabatan “Wakil Presiden” saja yang ditulis dalam Pasal 7 UUD 1945, mengapa Menteri tidak ditulis, maka berdasarkan pengalaman konstitusional Kami, karena jabatan wakil presiden diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol sebelum pemilu dan dipilih langsung oleh rakyat, sedangkan jabatan menteri adalah cukup hak prerogatif Presiden (Pasal 17 ayat (2) UUD 1945).
Bahkan jabatan wakil presiden jika dibandingkan oleh jabatan Menteri Negara, tugas dari Menteri Negara porsinya lebih “kuat” dibandingkan jabatan Wakil Presiden. Misalnya dalam hal membuat peraturan perundang-undangan, Wakil Presiden tidak mempunyai otoritas untuk membuat peraturan perundang-undangan, sedangkan Menteri Negara mempunyai otoritas untuk membuat peraturan perundang-undangan (Pasal 8 ayat (1) UU 12 Tahun 2011). Bukan hanya sampai disitu menteri bisa menandatangani undang-undang dalam rangka pengundangan yang telah disetujui Presiden bersama DPR, sementara wakil Presiden tidak punya otoritas tersebut.
Bahwa keterangan pengalaman konstitusional Kami sebagaimana diuraikan di atas, sesungguhnya terkonfirmasi apabila ditelusuri latar belakang dibentuknya norma Pasal 7 UUD 1945. Intinya bahwa sesungguhnya jikalau kita mau menggali alam pikiran pembentuk undang-undang dasar untuk frasa “hanya untuk satu kali masa jabatan”, sesungguhnya hanya untuk jabatan Presiden, bukan untuk pembantu-pembantu Presiden, karena pembantu-pembantu Presiden bukanlah pemegang kekuasaan kolektif kolegial bersama Presiden.
Setidaknya semua ini dapat terbaca dalam Naskah Komperhensif Perubahan UUD 1945 (Latar Belakang Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku IV Kekuasaan Pemerintahan Negara Jilid I, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, hlm. 472), sesungguhnya hampir semua orang (Anggota MPR) kala itu, di alam pikiranya adalah ingin melakukan pembatasan melalui frasa “hanya untuk satu kali masa jabatan” adalah untuk jabatan Presiden sebagai respons berkuasanya Presiden Soeharto kurang lebih 32 tahun.
Bahwa terkonfirmasi juga dalam Putusan MK No. 108/PUU-XVI/2012, paragraph [3.16] halaman 21-22 yang menyatakan :
“…Pembatasan masa jabatan Presiden tidak dapat dipersamakan dengan pembatasan yang sama untuk masa jabatan anggota DPR dan DPRD karena sifat jabatan dari kedua jabatan itu berbeda. Presiden adalah jabatan tunggal yang memiliki kewenangan penuh dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan, sehingga memang diperlukan adanya pembatasan untuk menghindari kesewenang-wenangan”.
Bahwa Pasal 169 Huruf n dan Pasal 227 Huruf i UU Pemilu yang membatasi masa jabatan Wakil Presiden untuk dapat dipilih kembali, kontradiksi dengan Konstitusi, karena norma Pasal 7 UUD 1945 sesungguhnya hanya membatasi masa jabatan Presiden, tidak termasuk Wakil Presiden dan menteri-menteri negara.