Megawati Menggugat Tanggung Jawab Parpol
Jakarta – Tanggung jawab parpol hendaknya tak terbatas pada pengawalan kadernya di DPR dan DPRD. Sebagai kawah candradimuka, tempat penggodokan kader untuk menjadi wakil rakyat dan pejabat publik, partai politik (parpol) hendaknya diberi tanggung jawab yang lebih besar.
Parpol tak hanya menjaring dan mengusung calon pemimpin publik, tapi juga mengawasinya. Jika ada bupati, walikota, dan gubernur yang melanggar konstitusi, undang-undang, peraturan yang berlaku, etika, dan visi-misi partai, parpol pengusung harus bisa memberikan sanksi, mulai dari peringatan hingga pencopotan. Gugatan itu disampaikan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri saat membuka sekolah bagi calon kepala dan wakil kepala daerah di Depok, Selasa (6/9).
Seperti tertuang dalam AD/ART partai, semua pejabat publik yang diusung PDI-P adalah “petugas” partai. Pengurus partai, bahkan dirinya sebagai ketua umum partai, adalah juga “petugas” partai. Karena itu, parpol memiliki kewenangan dan tanggung jawab untuk mengawal semua “petugas” partai di mana pun mereka mengabdikan diri. Namun, untuk diterapkan secara nasional dibutuhkan payung hukum dan tentunya, dukungan dari partai lain.
Pakar hukum tata negara, Irman Putra Sidin menegaskan, di sebuah negara demokrasi seperti Indonesia, parpol merupakan motor penggerak konstitusi. Oleh sebab itu, sangat wajar jika ada pemimpin partai yang terus mengingatkan pentingnya mengemban visi-misi guna mencapai tujuan negara.
Setiap parpol wajib bertanggung mengawal kadernya di pemerintahan baik di eksekutif maupun legislatif agar tidak melenceng dari visi-misi, atau melanggar hukum positif serta etika. Saat ini, parpol punya senjata recall dan pergantian antarwaktu (PAW) untuk mengendalikan kadernya di legislatif. Namun, mekanisme seperti itu tak bisa dipraktikkan pada kader yang duduk di eksekutif, karena dalam Pilkada maupun Pilpres, parpol bukanlah peserta Pemilu.
Parpol hanya bisa mengoreksi presiden atau kepala daerah dengan mekanisme pemakzulan melalui anggotanya yang berada di legislatif.
“Megawati tidak keliru menyatakan bahwa pejabat presiden petugas partai. Karena, PDI-P pasti mempunyai visi-misi konstitusional dalam pencapaian tujuan negara yang harus diemban oleh presiden dan kepala daerah yang diusungnya,” kata Irman.
Kewenangan partai memecat kader hanya terjadi di lingkup jabatan legislatif. Kader parpol di kursi dewan di-recall oleh partai karena punya masalah internal parpol atau membuat kebijakan yang dianggap tidak sesuai dengan visi misi parpol. Kewenangan parpol itu dimungkinkan terjadi karena terdapat UU yang mengatur recall dan pergantian antarwaktu (PAW) di DPR.
Negara sudah mengatur melalui UU No 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, UU No 2/2008 tentang Partai Politik, UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, sampai Peraturan Pemerintah No 16/2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan DPRD tentang Tata Tertib DPRD. Pada aturan-aturan tersebut ditegaskan perihal syarat-syarat pemberhentian atau pergantian antarwaktu.
Irman menegaskan, bentuk pengawalan parpol kepada kader yang diberlakukan di legislatif tidak bisa diterapkan di eksekutif. Alasannya, dalam pilkada maupun pilpres, parpol bukanlah peserta pemilu. “Parpol bukanlah peserta pemilu namun sebatas pengusul saja sehingga parpol tidak punya legal standing me-recall presiden, gubernur, bupati atau walikota,” kata Irman, Rabu (7/9).
Bentuk pengawalan parpol kepada kadernya yang sudah duduk di kursi eksekutif, menurut Irman, bisa dilakukan melalui anggotanya yang berada di parlemen. “Parpol bisa memberhentikannnya melalui anggotanya di parlemen via mekanisme pemberhentian menurut UU yang ada,” katanya.
Bila ada kepala daerah yang melanggar sumpah, janji jabatan, atau tidak melaksanakan kewajibannya, bisa berujung kepada upaya pemberhentian atau impeachment yang diatur dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Senada dengan Irman, peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris mendorong penegakan kode etik kader partai agar bisa mereka berjalan sesuai visi-misi parpol. Ia menganjurkan agar setiap parpol secara internal membentuk komisi atau dewan etik.
Komisi atau dewan etik ini, kata dia, harus independen dan diisi oleh tokoh-tokoh senior di parpol yang mempunyai kapasitas dan berintegritas. Setiap kader parpol yang melanggar AD/ART atau etika parpol, bisa diadili di komisi etik ini.
“Nanti, komisi etik akan memutuskan sanksi terhadap pelanggaran mulai dari sanksi ringan sampai sanksi berat seperti pemecatan dari partai politik,” ungkapnya.
Menurut Syamsuddin, LIPI dan KPK sedang menggagas Komite Etik Partai Politik. Komite etik parpol ini nanti akan mendisiplinkan parpol dan politisi agar berjalan sesuai dengan visi-misi parpol, UU, dan peraturan yang berlaku.
Sedangkan pengamat politik dari Universitas Diponegoro, Teguh Yuwono berpendapat, kewenangan parpol mengawal kadernya yang menjabat hanya mungkin dilakukan secara informal. Parpol tak punya kewenangan yang mutlak dan mengikat, termasuk melakukan intervensi dengan melakukan pemecatan.
“Tak ada satu pun undang-undang yang memperbolehkan partai memecat kepala daerah dan presiden yang dianggap tidak menjalankan visi misi partainya,” katanya, Rabu (7/9).
Sejak terpilih dan dilantik sebagai kepala daerah atau presiden, seorang kader partai bukan lagi bekerja untuk dan atas nama kepentingan partainya, melainkan demi seluruh rakyat. “Ingat, ia dipilih oleh rakyat, walaupun diusung oleh parpol. Jadi saat seseorang menjabat kepala daerah dan presiden, dia merupakan milik rakyat yang harus bekerja demi kepentingan rakyat,” tegasnya.
Menurut Teguh, istilah yang dipakai Megawati bahwa kader adalah “petugas” partai, adalah sah meski tidak dikenal dalam teori politik. “Tampaknya sebagai perintah agar semua kader PDI-P loyal dan tunduk pada kebijakan partai,” tambah Teguh.
Yang paling mungkin dilakukan parpol terhadap kadernya yang dinilai mbalelo adalah dengan tidak mencalonkan kembali kadernya itu dalam Pilkada atau Pilpres berikutnya.
Jadi, secara politik, kewenangan atau campur tangan partai terhadap para kadernya di pemerintahan tak akan bisa dilakukan karena tak ada UU yang mengatur. “Kalaupun ada upaya untuk mengganti UU, saya pikir akan sangat sulit dan mungkin tidak bisa,” katanya.
Stefi Thenu/Yeremia Sukoyo/DAS
Suara Pembaruan