Reklamasi Pantai Utara Menjadi ‘Buah Simalakama’ Pemerintah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kasus reklamasi di Teluk Jakarta mau tidak mau membuat posisi pemerintah serba salah atau seperti ‘makan buah simalakama’. Di satu sisi sudah telanjur mengizinkan reklamasi, di sisi lain mendapat tekanan publik yang begitu hebat dari berbagai kalangan agar reklamasi dihentikan karena izinya diduga bermasalah dan mengancam kelestarian lingkungan.

Pakar Hukum Tata Negara, Irman Putra Sidin mengatakan, moratorium reklamasi itu bisa menjadi perbuatan melawan hukum pemerintah. Ini karena moratorium itu sama saja memberikan sanksi bagi pengembang.

“Padahal pengembang tidak bisa dianggap bersalah soal keluarnya polemik siapa yg berwenang terhadap pemberian izin reklamasi apakah gubernur atau menteri,” katanya, di i Jakarta, Sabtu  (7/5),

Pendiri Sidin Constitution itu mengaku tidak paham cara pikir pemerintah ketika memutuskan moratorium reklamasi, karena bagaimanapun juga, pengembang adalah warga negra yang dijamin haknya oleh konstitusi, berupa hak atas perlindungan dan kepastian hukum.

“Mereka sudah mendapatkan izin untuk membangun pantai utara Jakarta dan karenanya izin itu tidak bisa dengan mudah dihentikan begitu saja oleh pemerintah,” katanya.

Ironisnya, lanjut Irman Putra Sidin, penerima izin atau pengembang tidak berhak menentukan siapa yang berwenang memberikannya izin,” katanya.

Lalu kalau izin dicabut, apa solusi yang diberikan pemerintah kepada pengembang yang sudah menghabiskan triliunan rupiah untuk membiayai proses reklamasi pantai utara Jakarta?

Irman Putra Sidin mengatakan, kalau izin itu dianggap bermasalah oleh pemerintah, maka solusinya adalah penyesuaian izin akan syarat yang dibutuhkan, bukan sanksi berupa moratorium.

“Bagaimana kalau para pengembang menggugat balik keputusan pemerintah dan meminta ganti rugi, berapa besar biaya yang dikeluarkan?” katanya.

Leave a Reply