Penyalahgunaan Penerbitan SKL BLBI Harus Diuji Lewat TUN

RMOL. Penyelesaian kebijakan penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) terhadap debitur Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dinilai tidak bisa dipidanakan.

Sekalipun ditemukan adanya penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan SKL, maka dari sisi administrasi hal itu harus diuji lewat peradilan Tata Usaha Negara (TUN). Mengingat sebuah tindak pidana tidak dapat berdiri sendiri namun terikat dengan hukum lain.

Hal itu disampaikan praktisi hukum administrasi negara Irman Putra Sidin terkait upaya hukum yang saat ini dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seputar penerbitan SKL terhadap para debitur BLBI.

Irman menilai, SKL merupakan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah guna memberikan kepastian hukum terhadap debiturnya. Kebijakan yang bersandar pada untung-rugi bagi negara itu dipandangnya dikeluarkan juga bertujuan memberikan kepastian hukum di sektor usaha maupun negara.

“Kita sering salah kaprah. sebuah tindak pidana tidak berdiri sendiri melainkan terikat pada hukum lain. Seperti halnya kasus korupsi, bila yang diindikasikan adalah penyalahgunaan wewenang atas suatu kebijakan, maka ranahnya masuk ke dalam peradilan TUN,” jelas Irman dalam keterangannya, Sabtu (16/12).

“Harusnya diuji dulu di TUN. (Hukum pidana) bukan superior terhadap hukum lain. Kalau menyangkut penyalahgunaan kewenangan maka ranahnya TUN. SKL itu kalau kebijakan begara maka itu tidak bisa dipidana,” lanjutnya.

Irman menuturkan, penyelesaian kasus terhadap bank atau pemilik bank yang tersangkut skandal BLBI tidak dapat dipenjara karena termasuk ke dalam ranah piutang negara. Hal itu telah diatur oleh hukum HAM internasional yang menyebutkan tak boleh adanya pemenjaraan dalam kasus piutang.

“Hukum HAM internasional, tidak boleh orang dipenjara karena utang. Kalau piutang di atas Rp 100 miliar bisa dihapuskan dengan persetujuan presiden dan DPR, namanya SKL itu. Piutang negara itu sudah ada mekanismenya, tidak boleh dipenjara,” imbuhnya.

Senada disampaikan pakar hukum pidana Univesitas Islam Indonesia (UII) Prof. Mudzakir. Dia menekankan tanggung jawab korporasi tidak serta merta beralih kepada pemegang saham mayoritas. Sebagai subjek hukum, korporasi semestinya yang bertanggung jawab.

“Misalnya kalau korporasi itu pailit, semestinya alihnya adalah tagihan sebagai likuidasi. Kalau itu menjadi tagihan likuidasi artinya apa yang menjadi kewajiban debitur itu sudah selesai, bayarnya sudah selesai. Di manapun kredit macet itu dialihkan tagihannya, bukan menjadi tanggung jawab pribadi,” paparnya.

Menurut Mudzakir, dalam penyelidikan terhadap SKL, KPK seharusnya terlebih dahulu memintai pendapat ahli hukum pidana maupun ahli perbankan sebelum bergerak lebih jauh.

“Semua ahli perbankan ngomong menyatakan itu kewajiban korporasi bukan pribadi. Kalau mau disita, seluruh harta kekayaan itu sudah diserahkan, termasuk juga tagihan itu kepada BPPN,” tuturnya.

Mudzakir mengingatkan bahwa penyidik KPK harus dapat memahami kapan sebuah perkara dinyatakan perdata atau pidana. Seperti halnya dalam kasus penerbitan SKL, KPK selalu mengatakan hal tersebut inisiatif Syafrudin Tumenggung. Sementara sebagai kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) kala itu, Syafrudin wajib melakukan inisiasi tersebut.

“KPK sebaiknya ngundang ahli dulu yang netral, obyektif, kalau kasus seperti ini tanggung jawab siapa. Itu yang belum terjawab. Penyidik jangan berpendapat dulu tanya saja dulu prinsip-prinsip perbankan seperti apa,” kata Mudzakir.

Sementara, ekonom dari Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Piter Abdullah menilai, negara harus terus berupaya mengejar para obligor BLBI yang hingga kini belum memenuhi kewajibannya. Upaya tersebut penting dilakukan demi memberikan kepastian hukum.

“Kalau menurut saya ini masih bicara tentang kepastian hukum. Bahwasanya mereka harus bayar, dan kalaupun bayar itu akan ditindaklanjuti, itu adalah kepastian hukum,” ujarnya.

Kepastian hukum menjadi salah satu kunci penyelesaian kasus itu. Juga misalnya terkait dengan SKL yang diterbitkan BPPN kepada sejumlah obligor.

“Kepastian hukum bahwa dia sudah membayar lunas kemudian dia diberi keterangan lunas. Itu harus ditegakkan,” demikian Piter. [rus]

Leave a Reply