UU MD3: DPR Diperkuat, Kebebasan Berpendapat Diancam
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Undang-Undang (UU) MD3 tentang MPR, DPR, dan DPD yang disahkan pada Senin (12/2), resmi digugat di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (15/2). MK didesak segera memutus permohonan atau setidaknya memberikan putusan provisi menerima permohonan provisi.
Pernyataan itu disampaikan Forum Kajian Hukum & Konstitusi (FKHK) sebagai pemohon gugatan UU MD3 ke MK. Permohonan diterima Kepaniteraan MK dengan Nomor Tanda Terima Pendaftaran 1756/PAN.MK/II/2018.
Kuasa Hukum Pemohon dari Law Firm Sidin Constitution Irman Putra Sidin mengatakan, permintaan agar MK segera memutus permohonan, mengingat kebutuhan mendesak karena terhadap pemberlakuan norma a quo para pemohon dan seluruh warga negara sudah dapat langsung dituntut secara pidana ataupun digugat secara perdata.
Dia menjelaskan, materi gugatan dari UU MD3 sangat substantif karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Di antaranya, tentang pemanggilan paksa terhadap warga masyarakat yang pada pokoknya bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip DPR sebagai perwakilan rakyat.
“Pasal yang kami persoalkan, yaitu Pasal 73 ayat (3) dan ayat (4) huruf a dan c, Pasal 122 huruf k, Pasal 245 ayat (1),” kata dia, Rabu.
Polri menyatakan akan melakukan kajian terkait revisi UU MD3. Ini terkait terkait Pasal 73 yang menyebut anggota dewan yang akan memeriksa seseorang dapat meminta Polri membantu melakukan penjemputan paksa. Aspek lainnya, bila anggota dewan hendak diperiksa, harus meminta izin MKD dan Presiden.
Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Komisaris Besar Polisi Martinus Sitompul menegaskan, dalam hal ini, Polri berada dalam tataran eksekutif, yakni pelaksana undang-undang.
“Bagi kami bagian eksekutif adalah melakukan kajian-kajian dulu karena apakah bertentangan atau apakah memiliki kaitan dengan pelaksana tugas Polri kita kaji dulu,” kata Martinus di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta, Rabu (14/2).
Dia mengatakan, Divisi Hukum Polri sedang melakukan kajian. Dari hasil kajian tersebut secara internal nantinya akan ditentukan sikap Polri. Apakah UU MD3 ini memiliki aspek yang berbenturan dengan aturan yang ada di kepolisian atau tidak.
Sebelumnya, Ketua DPR Bambang Soesatyo mempersilakan kepada pihak yang tidak puas UU MD3 menggugat melalui Mahkamah Konstitusi. “Mekanisme pengesahan UU MD3 di DPR sudah sesuai dengan tata tertib dan ketentuan yang berlaku, sebelum disahkan di rapat paripurna dewan, juga sudah melalui proses pembahasan bersama dengan pemerintah,” kata Bambang melalui keterangan tertulis, Selasa (13/2).
Pasal kontroversial
Pakar hukum Mahfud MD menilai, keinginan DPR memasukkan sejumlah pasal kontroversial dalam UU MD3 yang menguatkan mereka sangat tidak layak.
“Ya memang begitu, DPR itu sudah mengacaukan garis-garis ketatanegaraan,” kata Mahfud ditemui di kantor KSP, Rabu (14/1).
Mahfud menuturkan, permasalahan yang banyak terjadi di DPR adalah persoalan etik. Dan seharusnya, etik tidak boleh dimasukkan dalam problem hukum. Kalau DPR ingin mau ikut campur dalam penegakan hukum itu tidak diperbolehkan.
Dia mencontohkan, ketika ada orang yang menghina anggota DPR maka tidak perlu masuk ke dewan etik karena sudah ada hukumnya dalam KUHP pidana tentang penghinaan dan pencemaran nama baik pejabat publik atau lembaga publik.
Ketua PBNU Bidang Hukum H Robikin mengaku khawatir terhadap pasal-pasal kontroversial UU MD3. Terkait Pasal 122 huruf (k) tentang pidana untuk kelompok atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggotanya, misalnya.
Menurut dia, dari sisi hukum, ketentuan tersebut melampaui batas kewenangan yang seharusnya dan berpotensi menimbulkan abuse of power. Sementara dari sisi mekanisme check and balance, dinilai berpotensi mengkriminalisasi pihak-pihak yang berbeda pandangan dengan pandangan politik parlemen.
“Nah, ini kemunduran demokrasi yang sangat serius,” ujarnya di gedung PBNU, Jakarta Pusat, Selasa (13/2).
Ketentuan itu, lanjutnya, juga berpotensi bertentangan dengan konstitusi tentang kemerdekaan yang menyatakan pendapat. Namun, dia berharap respons publik terhadap revisi UU MD3 harus tetap dimuarakan pada sistem dan mekanisme yang berlaku dan tidak disalurkan melalui cara-cara jalanan.
Buat demokrasi jadi mundur
Wakil Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Manager Nasution menilai, dua aturan antikritik lembaga eksekutif dan legislatif berpotensi membuat kemunduran demokrasi di Indonesia. Dua aturan tersebut adalah disahkannya RUU tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (RUU MD3) dan pasal penghinaan terhadap presiden.
Manager mengatakan, di parlemen UU tentang MPR, DPR, dan DPD (UU MD3) yang telah disahkan, memasukkan pasal imunitas dan kewenangan lebih DPR mengkriminalkan siapa saja pengkritik yang merendahkan parlemen.
Di sisi lain, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang akan disahkan membuka ruang pidana bagi pengkritik presiden juga sebagai pasal penghinaan presiden.
“Ini setali tiga uang proses kemunduran demokrasi kita, ketika kebebasan berpendapat dan kritik rakyat atas kinerja eksekutif dan legislatif tidak sesuai dengan keinginan masyarakat,” kata mantan komisioner Komnas HAM ini.
Direktur Eksekutif Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Syamsuddin Alimsyah menilai, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengalami sesat pikir. Ini terlihat dari Pasal 122 huruf K tersebut.
“Saya kira ada sesat pikir memaknai MKD. Padahal, MKD dibentuk untuk mengawasi etika anggota, atau polisinya DPR RI bukan malah mengawasi pengkritik anggota DPR RI,” kata Syamsuddin, saat menjadi pembicara pada diskusi di sekretariat ICW, Jakarta, Rabu (14/2).
Sejumlah fraksi secara tegas menolak pengesahan UU MD3. Selain PPP, Partai Nasdem juga menolak disahkannya RUU MD3 itu dan menyebut secara keseluruhan pasal-pasal di dalam UU tersebut bermasalah.
“Secara keseluruhan, pasal-pasal itu bermasalah. Ada mungkin sedikit yang berguna, tetapi harus dielaborasi lebih lanjut. Misalnya, dibutuhkannya badan keahlian untuk Baleg (Badan Legislasi),” kata Ketua Fraksi Partai Nasdem, Jhonny G Plate, Rabu (13/2).
Sebelumnya, Partai Nasdem memutuskan walk out saat Sidang Paripurna pada Senin (12/2). PPP juga memilih hengkang dari sidang paripurna tersebut.