UU MD3 Diuji Ke MK, Ini Alasannya
RMOL. Baru saja disahkan parlemen, UU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD RI (UU MD3) hasil revisi langsung diuji masyarakat ke Mahkamah Konstitusi.
Yang memohon pengujian adalah Forum Kajian Hukum & Konstitusi (FKHK) dengan kuasa hukum yang ditunjuk adalah Law Firm Sidin Constitution, A. Irmanputra Sidin & Associates, Advocates & Legal Consultants.
Irmanputra Sidin selaku salah satu anggta tim kuasa hukum pemohon menjelaskan bahwa permohonan pengujian telah diterima Kepaniteraan MK dengan Nomor Tanda Terima Pendaftaran 1756/PAN.MK/II/2018.
Pasal-pasal yang ingin diuji adalah Pasal 73 ayat (3) dan ayat (4) huruf a dan c, Pasal 122 huruf k, Pasal 245 ayat (1).
Menurut Irman, ada substansi dalam UU MD3 hasil revisi yang pihaknya anggap bertentangan dengan UUD 1945.
Pertama, tentang Pemanggilan Paksa Terhadap Warga Masyarakat yang pada pokoknya bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip DPR sebagai perwakilan rakyat. Instrumen panggilan paksa merupakan instrumen untuk mengontrol perilaku kekuasaan, sehingga tidak relevan kemudian untuk mengontrol perilaku warga masyarakat dengan menjadikan warga masyarakat sebagai korban dari pemanggilan paksa.
Kemudian, tentang hak DPR mengambil langkah hukum terhadap warga negara. Pada pokoknya hal ini bertentangan dengan prinsip kedualatan rakyat, prinsip perwakilan melalui pemilu, sebagaimana diatur konstitusi serta bertentangan dengan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan DPR itu sendiri.
Bagi pemohon, fungsi DPR bukan untuk melakukan langkah hukum, melainkan hanya membentuk sekaligus mengawasi pelaksanaan hukum termasuk anggaran. Jika langkah hukum tersebut dilakukan, maka akan merendahkan marwah dan kedudukan DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Lagipula, level DPR bukan orang perseorangan, kelompok orang atau badan hukum yang secara kedudukan berada pada posisi yang lemah, yang mungkin saja seorang warga negara yang tua renta dan miskin papa bisa menjadi subjek digugat perdata, bahkan pidana oleh DPR.
“Level tarung DPR adalah pelaku dan pemegang kekuasaan,” jelas Irman dalam keterangan pers kantor hukumnya.
Yang terakhir adalah pasal tentang Hak Imunitas Anggota DPR, yang pada pokoknya bertentangan dengan prinsip negara hukum, di mana prinsip tersebut menjamin persamaan di muka hukum, malah juga bertentangan dengan prinsip hak imunitas DPR itu sendiri yang dijamin oleh Konstitusi (pasal 20A UUD 1945).
Pasal itu dianggap menimbulkan tafsir bahwa hak imunitas anggota DPR hanya berlaku jikalau terjadi tindak pidana yang tidak berhubungan dengan tugas dari anggota DPR, sedangkan hak imunitas tidak berlaku jika berhubungan dengan tugas dari anggota DPR.
“Padahal seharusnya hak imunitas itu diberikan terkait dengan hubungannya dengan tugas dari anggota DPR. Selain itu dalam Pasal a quo juga dapat ditafsirkan semua tindak pidana dapat dimaknai menjadi hak imunitas yang absolut, sehingga seluruh tindak pidana tidak bisa menjangkau anggota DPR,” jelasnya.
Dari semua pasal yang dilakukan pengujian oleh Para Pemohon, lanjut Irman, jelas merugikan hak konstitusional Para Pemohon Warga Negara untuk diperlakukan sama di dalam hukum, hak untuk mendapatkan kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, hak pemajuan diri untuk memperjuangkan hak secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya, hak untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil, hak untuk mendapatkan kebebasan berpendapat, hak untuk berkomunikasi, dan kemerdekaan pikiran, yang bertentangan dengan UUD 1945.
“Kami bermohon kepada MK dan dapat segera memutus permohonan sesegera mungkin atau setidak-tidaknya MK dapat memberikan putusan provisi mengingat ada kebutuhan mendesak karena terhadap pemberlakuan norma a quo, para pemohon dan seluruh warga negara sudah dapat langsung dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata,” tutup Irman. [ald]