Putusan MA Dinanti Peraturan DPD tentang Tata Tertib Diuji Materi
JAKARTA, KOMPAS — Putusan Mahkamah Agung atas uji materi Peraturan Dewan Perwakilan Daerah tentang Tata Tertib diharapkan keluar sebelum pemilihan pimpinan baru DPD yang akan digelar awal April. Ini penting agar ada kepastian hukum yang jelas mengenai pemberlakuan aturan tersebut. Rabu (8/3), enam anggota DPD mengajukan uji materi atas Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2017 tentang Tata Tertib terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Keenam anggota DPD itu adalah Anang Prihantoro, Marhany Victor Poly Pua, Djasarmen Purba, Sofwat Hadi, Denty Eka Widi Pratiwi, dan Anna Latuconsina. Kuasa hukum pemohon, Irmanputra Sidin, mengatakan, peraturan DPD itu bertentangan dengan UU No 12/2011, khususnya pasal yang mengatur perubahan masa jabatan pimpinan DPD dari yang semula 5 tahun menjadi 2 tahun 6 bulan. Demikian pula ketika aturan itu diberlakukan secara surut, yaitu kepada pimpinan DPD periode 2014-2019. Peraturan baru itu, tambahnya, juga menyimpang dari pandangan Mahkamah Agung yang disampaikan saat DPD bertemu dengan pimpinan MA pada 16 Desember 2016. Ketika itu, MA menyatakan, Tata Tertib DPD tidak bisa berlaku surut. Sebab, yang bisa berlaku surut hanya undang-undang dan itu pun khusus untuk kejahatan hak asasi manusia berat. Karena melanggar undang-undang dan bertentangan dengan pandangan MA, Irman meminta lembaga peradilan tertinggi tersebut membatalkan Peraturan DPD No 1/2017. Anang Prihantoro mengatakan, saat ini Tata Tertib DPD ditafsirkan berbeda-beda oleh berbagai kelompok kepentingan di DPD. Hal itu berpotensi menjadi friksi yang bisa membuat kinerja DPD tidak maksimal. ”Kami minta MA memprioritaskan putusan terkait gugatan kami itu agar ada kepastian hukum sebelum DPD gegabah mengganti pimpinan dan membuka keran pada campur tangan unsur politik di DPD,” kata Anang. Akhir-akhir ini, ada keinginan dari sejumlah anggota DPD, khususnya yang telah bergabung dengan Partai Hanura, mendorong Ketua Umum Hanura Oesman Sapta Odang menjadi Ketua DPD. Pemilihan pimpinan DPD itu direncanakan akan diadakan pada awal April 2017. Sejak akhir 2016, sebanyak 70 dari total 132 anggota DPD disebut bergabung dengan Partai Hanura. Sebanyak 27 anggota di antaranya bahkan menjabat posisi kunci di kepengurusan Hanura. ”DPD itu seharusnya menjadi kebalikan DPR, bukan ikut-ikutan menjadi seperti DPR,” ujar Anang.
Tetap sah
Anggota DPD dari Sulawesi Selatan, Ajiep Padindang, yang ikut menyusun Peraturan DPD No 1/2017 mengatakan, saat pembahasan aturan terkait masa jabatan pimpinan, panitia khusus (pansus) telah mengkaji berbagai aturan perundang-undangan. Pansus juga mengundang ahli-ahli hukum dan telah meminta pandangan dari MA. Namun, anggota pansus tidak bisa satu suara. Sebagian menginginkan aturan berlaku di DPD periode saat ini. Sebagian lainnya meminta aturan itu diberlakukan untuk DPD periode selanjutnya. Oleh karena itu, dua opsi itu dibawa ke Sidang Paripurna DPD dan Sidang Paripurna memutuskan, aturan berlaku di DPD periode ini. ”Jika sekarang muncul uji materi ke MA atas aturan itu, ya, silakan saja. Upaya hukum ini pun dianjurkan oleh MA sebagai jalan keluar jika masih ada yang keberatan,” katanya. Namun, selama MA belum memutuskan uji materi itu, aturan yang ada tetap sah. Oleh karena itu, pemilihan pimpinan DPD tetap akan dilangsungkan, tidak harus menunggu putusan MA. Sementara itu, terkait perkembangan politik terkini di DPD, anggota DPD dari DKI Jakarta, AM Fatwa, mengatakan, untuk mempermudah komunikasi dengan DPR, dirinya sudah lama menyarankan agar setiap anggota DPD terafiliasi dengan partai yang ada di DPR. Namun, afiliasi yang dimaksud hanya sebatas menjadi anggota atau maksimal masuk di jajaran dewan pembina, penasihat, atau kehormatan. ”Bukan masuk sebagai pengurus harian. Dan, sebaiknya tidak semacam bedol desa secara berkelompok masuk ke partai tertentu meski hal itu tidak dilarang undang-undang,” katanya. Belakangan, tambahnya, muncul keinginan agar ketua DPD berasal dari ketua umum parpol yang dekat dengan Presiden Joko Widodo, pemberani, berwatak keras, dan banyak akal. Namun, perjuangan politik itu memerlukan kesabaran dan yang terpenting adalah konsistensi dan memiliki akhlak politik negarawan.