PT 20 Persen, Nalar Konstitusional atau Kekuasaan?
INILAHCOM, Jakarta – Sidang Paripurna RUU Penyelenggaraan Pemilu akhirnya memutuskan Pemilu 2019 menggunakan batas ambang persyaratan calon presiden sebesar 20 persen. Atas nama pembuat UU, DPR dan pemerintah bisa membuat regulasi sesuai selera (open legal policy). Namun, kebebasan itu dibatasi aturan konstitusi, tidak bisa seenaknya.
Sidang Paripurna DPR dengan agenda pengambilan keputusan tingkat akhir RUU Penyelenggaraan Pemilu berujung dengan cara voting. Enam fraksi pemerintah yakni Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi PKB, Fraksi PPP, Fraksi NasDem dan Fraksi Hanura memilih opsi A yang berarti setuju besaran batas ambang persyaratan pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) sebesar 20 persen.
Sedangkan fraksi di luar pemerintah yakni Fraksi Gerindra, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi PKS termasuk Fraksi PAN memilih langkah walk out dari ruang sidang. Kelompok ini memilih opsi B yakni tidak ada syarat pencalonan presiden alias PT sebesar 0 persen.
Kemenangan opsi A atau opsi PT 20 persen telah diprediksi sejak awal. Dalam rapat-rapat Pansus RUU Penyelenggara Pemilu, pemerintah bergeming tidak mengubah pendiriannya untuk bergeser dari opsi PT 20 persen. Sepekan menjelang pengesahan UU Penyelenggara Pemilu, partai-partai di koalisi pemerintah mulai merapatkan barisan dengan bersepakat untuk memilih PT sebesar 20 persen. Situasi itu terkonfirmasi dalam proses pengambilan keputusan di parlemen, partai koalisi solid dan mengamankan keinginan pemerintah untuk mengusung PT 20 persen.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Yusril Ihza Mahendra menilai ketentuan syarat batas ambang pencapresan bertentangan dengan konstitusi khususnya Pasal 6A ayat 2 jo Pasal 22E ayat (3) UUD 45. Menurut dia, pencalonan pasangan capres/cawapres dilakukan sebelum pemilu sebagaimana disebut di Pasal 22 E ayat 3 yakni pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD.
“Jadi pengusulan capres dan cawapres oleh parpol peserta pemilu itu harus dilakukan sebelum pemilu DPR dan DPRD. Baik pemilu dilaksanakan serentak maupun tidak serentak, presidential threshold mestinya tidak ada,” ujar Yusril dalam siaran persnya, Jumat (21/7/2017)
Apalagi tambah Yusril, pemilu dilakukan secara serentak, yang perolehan kursi anggota DPR-nya belum diketahui bagi masing-masing partai. Dengan memahami dua pasal UUD 45 seperti itu, maka tidak mungkin presidential threshold akan menjadi syarat bagi parpol dalam mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Oleh karenanya Yusril menyebut, bila UU tersebut telah ditandatangani presiden dan telah dimuat dalam lembaran negara dirinya akan mengajukan uji materi terhadap UU Penyelenggara Pemilu karena dianggap cacat konstitusi. “Secepat mungkin setelah RUU ini ditandatangani oleh Presiden dan dimuat dalam lembaran negara, saya akan mengajukan permohonan pengujian undang-undang ke Mahkamah Konstitusi,” ujar Yusril.
Ia berharap MK dapat memutus secara adil dan tidak tunduk pada upaya intervensi oleh pihak-pihak yang berkepentingan adanya UU tersebut. Ia tidak menampik, Presiden dan partai politik pendukung memiliki kepentingan besar untuk mempertahankan apa yang telah mereka putuskan. “Namun saya berharap MK tetap tidak dapat diintervensi oleh siapapun,” tegas mantan Menteri Hukum dan HAM ini.
Hal senada juga ditegaskan ahli hukum tata negara Irmanputra Sidin yang menyebutkan keputusan DPR membuat norma batas ambang persyaratan pencapresan sebesar 20 persen bertentangan dengan konstitusi. “Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 dan Pasal 6A ayat 2 UUD 1945 bahwa hak setiap parpol peserta pemilu mengusulkan pasangan capres. Dalam Putusan MK disitu sebenarnya telah menyatakan bahwa ambang batas pencalonan Presiden bagi Partai Politik, tidak ada hubungannya dengan penguatan sistem Presidensial,” cetus Irman.
Irman justru menilai, ketentuan syarat batas ambang persyaratan pencapresan hanyalah alat untuk menyandera presiden saat berkuasa. Persyaratan tersebut dalam praktiknya justru melemahkan sistem presidensial. “Ambang batas tersebut sesungguhnya ingin melanggengkan fenomena “kawin paksa Capres” , mengingat hak setiap parpol sebagai peserta pemilu untuk mengajukan pasangan calon Presiden telah dilanggar, sehingga pilihan pasangan calon akan semakin mempersempit menu prasmanan capres daris setiap parpol,” tandas Irman.
Sebelumnya dari kelompok yang setuju penerapan PT 20 persen dimaksudkan aturan tersebut untuk menguatkan sistem presidensial. Kerja presiden selama lima tahun agar tidak lemah.
Presiden Joko Widodo sehari sebelum pengesahan UU Penyelenggara Pemilu mengatakan sikap pemerintah yang menginginkan batas ambang persyaratan pencapresan sebesar 20 persen lantaran pengalaman dalam dua kali pemilu, PT diterapkan sebesar 20 persen. “Pemerintah dalam hal ini pengajuannya, karena dari pengalaman beberapa kali Pemilu kan sudah 20 persen berjalan baik. Ingin ke depan kita semakin sederhana, semakin sederhana,” kata Joko Widodo.
Sikap pemerintah dan partai koalisi yang menginginkan PT 20 persen tidak terlepas dari konstalasi politik di Pemilu 2019 mendatang. Jika formasi koalisi ini tidak berubah serta rumusan soal PT tidak dibatalkan di Mahkamah Konstitusi besar kemungkinan capres dan cawapres di 2019 hanya ada dua pasangan. Bahkan ekstremnya, tidak menutup kemungkinan capres hanya satu pasang saja. [mdr]