Pengujian Undang-undang No. 13 tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta
Aktivis Perempuan Prof. Dr. Saparinah Sadli, Sjamsiah Achmad, M.A., Dra. Siti Nia Nurhasanah, Ninuk Sumaryani Widiyantoro dan Dra. Masruchah dan Warga DIY, beberapa Pengusaha serta Abdidalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat memberikan Kuasa Kepada DR. A. IRMANPUTRA SIDIN, S.H,.M.H, dkk para Advokat dan Konsultan Hukum pada Firma Hukum A.IRMANPUTRA SIDIN & ASSOCIATES (Advocate & Legal Consultants), untuk mengajukan permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta Pasal 18 ayat (1) huruf m terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal yang diuji:
Pasal 18 ayat (1) huruf m Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (“UU KDIY”) yang berbunyi:
“Calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur adalah warga negara Republik Indonesia yang harus memenuhi syarat:
a..
b..
m. menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak”.
Dengan adanya kata “istri” saja dalam pasal diatas/pasal a quo seolah-olah dalam pengisian jabatan sebagai Gubernur DIY yang bertahta adalah laki-laki. Atau dengan kata lain hanya laki-laki yang bisa menduduki jabatan tertinggi di Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta, karena bagaimanapun perempuan tidak mungkin memiliki istri. Harusnya kata ïstri” sebagai sebuah konsep norma adalah konsep tak terpisahkan dengan kata “suami” sehingga harusnya tertulis frasa “suami/istri”.
Kata “ïstri” dalam Pasal a quo tersebut bertentangan dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diantaranya ialah:
tidak mencerminkan pengakuan, penghormatan negara terhadap hak keistimewaan sistem pemerintahan asli dan proses pemerintahan Kasultanan Ngayogyakarta yang mandiri dan bebas dari intervensi dan campur tangan pihak manapun. Ini telah dilindungi dan dijamin oleh Pasal 18B UUD 1945 Pasal 18B ayat (1) menyatakan :
“Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifatistimewa yang diatur dengan undang-undang.”
Bilamana Negara tidak mengindahakan ketentuan UUD 1945 tersebut, maka ini jelas bertentangan dengan hukum konstitusi. Harusnya terhadap norma tersebut negara bersifat netral dan tidak memberikan peluang pembatasan yang sifatnya diskriminatif, menjamin dan menghormati kekuasaan/kewenangan daerah istimewa cq Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dibawah pimpinan Sultan Hamengku Bawono X dalam menentukan kepemimpinan di Yogyakarta.
Sebagai Lembaga Negara Gubernur dan Wakil Gubernur Pemerintahan Provinsi merupakan bagian dari pemerintahan Negara Republik Indonesia harus tunduk dan patuh serta tidak bisa dipisahkan dan tidak bertentangan dengan norma-norma UUD 1945. Makna “pengakuan” dalam Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 termasuk pengakuan atas hak asal usul yang melekat pada daerah yang bersangkutan berdasarkan kenyataan sejarah dan latar belakang daerah tersebut. Dengan kata lain bahwa proses penentuan kepemimpinan di Daerah Istimewa Yogyakarta sepenuhnya menjadi wilayah Kasultanan Ngayogyakarta dibawah pimpinan Sultan Hamengku Bawono X untuk menentukan siapa pemimpin selanjutnya.
Dalam pasal tersebut mencantumkan daftar riwayat hidup khususnya yang memuat kata “istri” menandakan bahwa norma a quo bersifat kabur, multitafsir dan tidak adanya kepastian hukum pada saat bersamaan bersifat diskriminasi terhadap jenis kelamin perempuan. Hal ini jelas telah melanggar prinsip Negara hukum, melanggar prinsip persamaan kedudukan didalam hukum dan pemerintahan, telah tidak memberikan kepastian hukum yang adil dan menghilangkan kesempatan yang sama didalam pemerintahan dalam hal ini Lembaga Negara Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dalam arti bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur DIY sebagai Lembaga Negara sejatinya tidaklah berjenis kelamin. Proses internal Keraton Ngayogyakarta haruslah mandiri dan tidak dapat di intervensi, sehingga apakah laki-laki atau perempuan yang menjadi pemimpin selanjutnya haruslah menjadi wilayah Kasultanan Ngayogyakarta yang menentukannya.
Norma yang mengatur proses pencalonan dan syarat calon yang akan menduduki Lembaga Negara Gubernur dan Wakil Gubernur harus memberikan jaminan kepastian hukum sebagai konsekuensi negara hukum sebagaimana yang berbunyi dalam Pasal 1 ayat (3) “Negara Indonesia adalah Negara Hukum” negara hukum harus menjunjung keadilan sebagai tujuan dari hukum sendiri bahwa tidak ada perbedaan dalam penerapan hukum dengan memandang jabatan, status sosial, apalagi berdasarkan jenis kelamin dan Pasal 28D ayat (1) menyatakan: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Yang mana setiap orang tanpa membedakan jenis kelamin memiliki hak yang sama dihadapan hukum untuk menjadi calon Gubernur dan wakil Gubernur DIY selama telah menjadi Sultan Bertakhta di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Dengan adanya kata “istri” saja dalam pasal a quo seolah-olah dalam pengisian jabatan sebagai Gubernur DIY yang bertahta adalah laki-laki. Atau dengan kata lain hanya laki-laki yang bisa menduduki jabatan tertinggi di Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta, sedangkan perempuan tidak. Hal ini merupakan bentuk perlakuan diskriminatif negara terhadap perempuan untuk memperoleh kesempatan dalam pemerintahan. Ini jelas bertentangan dengan Ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Selain itu juga, lebih lanjut kata “istri” saja dalam pasal a quo yang terdapat dalam Undang-undang KDIY telah membatasi dan menciderai hak konstitusional warga negara dan Kasultanan Ngayogyakarta khususnya perempuan untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam pemerintahan dan bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi;“Setiap warga Negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan” dan Pasal 28I ayat (2) menyatakan: “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.
Bagaimanapun relitasnya tidak tertutup kemungkinan Sultan Bertakhta atau Adipati paku Alaman bertakhta adalah seorang perempuan sebagaimana fakta historis sejarah kerajaan-kerajaan nusantara yang banyak dipimpin oleh seorang perempuan (vide Tabel dalam pemohonan ).
Dari table diatas dapat kita lihat bahwa dimasa kerajaan yang ada di Nusantara, sudah bukan hal yang baru konsep pemimpin perempuan Bahwa selain nama-nama Raja Perempuan diatas, perkembangan politik dewasa ini juga telah melahirkan Presiden perempuan yaitu Presiden Megawati Soekarnoputri bahkan juga kepala daerah-kepala daerah Perempuan (vide Permohonan Lengkap) .
Pada akhirnya norma Pasal a quo yang hanya menyebut kata “ïstri“ melanggar berbagai prinsip dan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur secara tegas dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Bahwa berdasarkan Pasal 5 huruf d dan e UU No.12/2011 menyatakan “asas dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis dan Pasal 5 huruf e UU No.12/2011 menyatakan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kata “istri” dalam Pasal 18 ayat (1) huruf m UU KDIY yang bersifat diskriminatif dan tidak menghormati keistimewaan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat jelas menjadikan norma a quo tidak dapat dilaksanakan dan menjadi tiada kedayagunaan dan kehasilgunaan. Pasal tersebut jelas tidak memperhitungkan dan tidak mempertimbangkan efektifitasnya didalam masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, baik secara filosofis, sosiologis dan yuridisnya. Norma Pasal 18 ayat (1) huruf m UU KDIY menjadi tidak dibutuhkan dan tidak bermanfaat dalam mengatur kehidupan masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta khususnya Kasultanan. Pasal tersebut justru menimbulkan polemik dan menjadi sebuah bom waktu di lingkup keistimewaan DIY.
Bahwa berdasarkan Pasal 5 huruf f UU No.12/2011 “asas kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
Bahwa berdasarkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut maka diketahui bahwa kata “istri” dalam Pasal 18 ayat (1) huruf m UU KDIY tidak sesuai dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan khususnya dalam hal kejelasan rumusan dimana norma a quo telah menimbulkan adanya perbedaan penafsiran, sehingga menimbulkan tidak adanya kepastian hukum yang adil, oleh karenanya norma a quo bertentangan dengan tujuan hukum yang menjadi salah-satu unsur penting dalam Prinsip Negara Hukum.
Ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf m UU KDIY juga tidak jelas rumusannya. Norma tersebut yang hanya menggunakan kata “istri” dalam riwayat hidup calon Gubernur dan Wakil Gubernur sebagai syarat, yang mana menjadikan interpretasi pasal tersebut menjadi diskriminatif terhadap perempuan/wanita dalam pengisian lembaga negara Gubernur dan Wakil Gubernur.
Bahwa berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU No.12/2011 “asas pengayoman” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan pelindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat.
Ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf m UU KDIY tidak sesuai dengan asas pengayoman yang mencerminkan adanya perlindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat Daerah Isitimewa Yogyakarta. Pasal yang bersifat diskriminatif dan tidak menghormati keistimewaan Kasultanan tersebut justru menimbulkan polemik, perdebatan, dan berpotensi menimbulkan konflik dalam masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta.
Bahwa berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf b UU No.12/2011 “asas kemanusiaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
Pasal 18 ayat (1) huruf m UU KDIY yang bersifat diskriminatif dan tidak menghormati keistimewaan Kasultanan Ngayogyakarta jelas tidak mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat warga negara Kasultanan Ngayogyakarta.
Bahwa berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf f UU No.12/2011 “asas Bhinneka Tunggal Ika” adalah bahwa Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pasal 18 ayat (1) huruf m UU KDIY jelas tidak menghormati keistimewaan Kasultanan Ngayogyakarta yang memiliki kekhususan yang berbeda dengan daerah lainnya, mengingat hak asal usul, sejarahnya, sistem pemerintahan, dan peraturan internalnya, peran dan kontribusinya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bahwa berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf g, h, dan i UU No.12/2011 menyatakan “asas keadilan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara, “asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial, “asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.
Bahwa Pasal 18 ayat (1) huruf m UU KDIY tidak mencerminkan keadilan bagi setiap warga Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan masyarakat DIY, serta menunjukkan adanya ketidaksamaan dalam hukum dan pemerintahan karena ada pembedaan berdasarkan gender dalam pengisian jabatan lembaga negara Gubernur dan Wakil Gubernur. Serta dengan munculnya polemik dan perdebatan yang berpotensi memunculkan konflik karena norma pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945, dengan kondisi tersebut menimbulkan ketidaktertiban dan ketidakpastian hukum dalam masyarakat. Bahwa Pasal 18 ayat (1) huruf m UU KDIY telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sebagaimana seharusnya hal tersebut telah dijamin dan dilindungi dalam Negara Hukum (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
- PETITUM
Berdasarkan alasan-alasan yang telah diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir, maka PARA PEMOHON memohonkan kepada Majelis Hakim Konstitusi yang Terhormat pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk memeriksa dan memutus Uji Materil sebagai berikut:
- Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya;
- Menyatakan Pasal 18 ayat (1) huruf m Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, terhadap kalimat “yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak” bertentangan dengan UUD 1945;
- Menyatakan Pasal 18 ayat (1) huruf m Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, terhadap kalimat “yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak” tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
- Memerintahkan amar putusan Mahkamah Konstitusi untuk dimuat dalam Berita Negara.
Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).