Penetapan Gubernur DIY Konstitusional
Jumat, 29 Juli 2016| 15:07 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com– Pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dengan syarat bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam, seperti diatur dalam Undang-Undang Keistimewaan DIY, tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi, dalam putusannya yang dibacakan Kamis (28/7/2016), menyatakan, keistimewaan persyaratan pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY merupakan salah satu perwujudan kewenangan istimewa DIY.
Dalam pertimbangannya, MK telah memperhitungkan hak asal-usul dan kesejarahan Yogyakarta sejak sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
”Keistimewaan dalam pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur suatu daerah istimewa dibenarkan bahkan diberikan landasan konstitusional Pasal 18B Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945,” kata Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati saat membacakan pertimbangan putusan.
Selain itu, ketentuan tersebut juga tidak bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945.
Konstitusionalitas syarat calon Gubernur dan Wakil Gubernur DIY, yang diatur dalam Pasal 18 Ayat (1) huruf c UU No 13/2012 tentang Keistimewaan DIY itu duji oleh Muhammad Sholeh, advokat yang tinggal di Jawa Timur. MK tidak menerima permohonan itu karena pemohon dinilai tak memiliki kedudukan hukum. Tak ada kerugian konstitusional yang diderita Sholeh akibat ketentuan itu.
Tak abaikan sejarah
Selain itu, MK juga menyatakan suatu daerah ditetapkan sebagai daerah istimewa jika keistimewaan daerah tersebut terkait dengan hak asal-usul dan kesejarahan daerahnya sejak sebelum lahirnya NKRI. Hak asal-usul dan sejarah tersebut harus tetap diakui, dijamin, dan tidak dapat diabaikan dalam menetapkan jenis dan ruang lingkup keistimewaan suatu daerah dalam UU.
Seusai persidangan, Sholeh mengaku kecewa dengan keputusan MK. Menurut dia, syarat harus bertakhta sebagai Sultan HB dan Adipati Paku Alam akan membuat gubernur dan wakil gubernur dijabat seumur hidup, sehingga dalam perspektif hukum tidak memungkinkan jabatan publik itu bisa dikontrol.
Dalam uji materi ini, Raden Mas Adwin Suryosatrianto, abdi dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat mengajukan diri sebagai pihak terkait. Kuasa hukum Adwin, Irmanputra Sidin, mengungkapkan, dengan adanya putusan MK, tak ada lagi peluang mempersoalkan konstitusionalitas pengisian jabatan tersebut.
Kemarin, MK juga menyidangkan uji materi sejumlah pasal terkait verifikasi administrasi dan faktual calon perseorangan dalam UU No 10/2016 tentang Pilkada.
Salah satu pemohon uji materi, Fadjroel Rachman, menyoal ketentuan yang menyatakan hanya pemilih terdaftar di Daftar Pemilih Tetap yang bisa menyerahkan kartu tanda penduduk sebagai bentuk dukungan.
Berita ini sudah dimuat di halaman 4 Harian Kompas edisi Jumat 29 Juli 2016 dengan judul yang sama.
Editor | : Krisiandi |
Sumber |