MK Jamin Raja-Adipati Jabat Gubernur-Wagub
Setidaknya MK memiliki dua alasan mendasar atas putusannya tersebut. Ketua Majelis MK Prof Arief Hidayat dalam sidang putusan di Gedung MK menyatakan tidak menerima permohonan pemohon. Pemohon merupakan warga Surabaya, Jatim, sehingga dianggap tidak memiliki kepentingan terhadap DIY. Artinya dari aspek legal standing gugatan tidak terpenuhi.
Selain itu, syarat menjadi Gubernur DIY adalah Sultan Keraton Yogyakarta sudah konstitusi. Di dalam Undang- Undang (UU) No 13/2012 tentang Keistimewaan (UUK) DIY menyebutkan, Gubernur DIY adalah Raja Keraton Yogyakarta yang bertakhta. Advokat dan Konsultan Hukum Keraton Yogyakarta Irmanputra Sidin mengatakan, MK sudah menegaskan penetapan Sultan bertakhta sebagai calon/gubernur dan wakil gubernur sudah final serta mengikat. “Karena itu, sudah sesuai konstitusi dan demokrasi,” katanya kemarin.
Menurut Irmanputra, negara mengakui dan menghormati keistimewaan daerah, seperti dalam amanat Pasal 18 B ayat (1) UUD 1945 sehingga pembentuk UU, yakni DPR dan Presiden sebagai perwujudan frase “dipilih secara demokratis” dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 diberikan kewenangan menentukan cara yang tepat dalam pilkada, termasuk di daerah khusus dan istimewa. Irmanputra mengakui terdapat hak warga negara dibatasi dalam pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.
Namun, hal itu dibenarkan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 dan semata mata untuk pengakuan dan penghormatan kesejarahan Kasultanan Ngayogyakarto Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman. Kasultanan dan Kadipaten sudah ditegaskan secara konstitusional oleh MK memiliki wilayah, pemerintahan, dan penduduk sebelum lahirnya NKRI. “Bahkan keduanya memiliki peran besar dan sumbangsih mempertahankan, mengisi dan menjaga keutuhan NKRI, sehingga pembatasan tersebut adalah kuat, masuk akal, proporsional, dan tidak berlebihan,” kata Irman.
Dia mengungkapkan, model pengisian jabatan Gubernur dan Wagub DIY melalui penetapan atas Sultan dan Adipati yang bertakhta adalah model demokrasi konstitusional menurut UUD 1945. “Pasal ini sudah dikunci oleh MK sehingga tidak ada peluang lagi mempersoalkan konstitusionalitas pengisian jabatan tersebut kelak pada kemudian hari,” kata Irmanputra.
Mantan anggota Tim Asistensi Rancangan UUK DIY Achiel Suyanto mengapresiasi putusan MK yang tidak menerima gugatan M Sholeh. “Putusan MK sudah tepat,” ucap Achiel. Advokat bernama lain Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Nitinegoro ini berpendapat gugatan yang dilakukan M Sholeh merupakan tindakan tidak masuk akal. Dia justru menyayangkan penggugat sebagai seorang pengacara tidak memahami hukum konstitusi di Indonesia.
“Dia menuntut, tapi nggak mengerti konstitusi dan UUD 1945. Di dalamnya ada pasal untuk menghormati hak daerah dan asal-usulnya,” katanya. Achiel mengungkapkan, penggugat tidak memiliki legal standing karena merupakan warga Jawa Timur. Penggugat yang beralasan dirugikan dengan keberadaan UUK DIY juga tidak tepat. “Legal standing -nya nggak masuk,” katanya.
Dia juga mengingatkan bahwa menggugat UUK DIY tidak semudah membalikkan telapak tangan. UUK DIY memiliki dasar konstitusi yang kuat. Pembentukan UUK didasarkan pada konstitusi dan status DIY sebagai daerah istimewa. Kemudian di UUK DIY juga sudah ditegaskan Raja Keraton Yogyakarta dan Adipati Kadipaten Pakualaman yang bertakhta, maka otomatis sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Seperti diketahui, pengacara asal Jatim, M Sholeh, menggugat UUK DIY di MK.
Dia mengaku keberatan penetapan Sultan sebagai gubernur dan Adipati Paku Alam sebagai wakil gubernur. Selain itu, Sholeh juga merasa dirugikan dengan 10 Pasal yang ada dalam UUK DIY. Sepuluh pasal tersebut, yakni Pasal 18 ayat (1) huruf c, Pasal 18 Ayat (2) huruf b, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 28 ayat (5) huruf a-k.
Khususnya Pasal 28 ayat (5) huruf a-k tentang pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur serta persyaratannya dianggap tidak demokratis.
Ridwan anshori