Megawati Sadar Calon Independen Bisa Bikin Parpol Jadi Bangkai
Rabu, 9 Maret 2016 | 10:23

[JAKARTA] Ahli hukum tata negara, Irmanputra Sidin mengakui bahwa pernyataan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri soal deparpolisasi adalah peringatan konstitusional kepada seluruh parpol yang harus direspons secara serius.
“Ini ajang bagi parpol untuk membuktikan dirinya bahwa parpol masih dibutuhkan oleh konstitusi. Jadi pernyataan Megawati adalah tantangan dan peringatan konstitusional kepada seluruh parpol yang harus direspons secara serius, karena risikonya parpol bisa menjadi bangkai dalam sistem konstitusional kita,” kata Pendiri SIDIN CONSTITUTION (Law Office) itu kepada SP di Jakarta, Rabu (9/3).
Seperti diberitakan, Megawati mengumpulkan elite PDIP di kediamannya, Senin (7/3) malam.
Hasil pertemuannya, Megawati memerintahkan PDIP DKI memperkuat konsolidasi dan melawan deparpolisasi di saat jelang Pilgub DKI 2017.
“Kita diperintahkan memperkuat konsolidasi. Kita kan bisa maju sendiri (ke Pilgub DKI), waktu kita enggak terburu-buru,” kata Sekretaris DPD PDIP DKI Jakarta, Prasetio Edi Marsudi di Ruang Pers Balai Kota-DPRD DKI, Jl Kebon Sirih, Jakarta, Selasa (8/3/2016).
Prasetio menyatakan, deparpolisasi berakibat merugikan partai politik. Bukan hanya PDIP yang akan terkena imbasnya, namun semua parpol juga bisa tergerus deparpolisasi.
Apa bentuk konkret dari deparpolisasi dalam konteks Pilgub DKI? Prasetio menjelaskan, pencalonan gubernur lewat jalur independen adalah bentuk deparpolisasi.
“Independen itu kan liberal. Maksud dan tujuannya sah, tapi tidak ada payung hukum dan Undang-undangnya,” kata Prasetio.
Semakin Menguat
Persoalan deparpolisasi ini sudah mulai menguat pada tahun 2008 lalu. Ketika itu, Lembaga Survei Indonesia (LSI) melakukan penelitian tentang kecenderungan pemilih dalam memilih calon pemimpinnya.
Penelisi LSI Burhanuddin Muhtadi ketika itu mengatakan, gejala deparpolisasi atau ketidakpercayaan terhadap partai politik semakin menguat di masyarakat.
Ada setidaknya empat penyebab terjadinya deparpolisasi di masyarakat.
Pertama adalah besarnya dukungan publik terhadap calon yang ingin maju menjadi kepala daerah melalui jalur independen atau non-parpol.
Hasil Survei nasional LSI pada April 2008 menunjukkan 80 persen masyarakat mendukung calon independen.
Kedua, aturan pemilihan langsung untuk memiilih pimpinan nasional maupun kepala daerah mengurangi arti penting partai politik.
Ketiga, munculnya figur dari luar partai yang lebih populer dan lebih memiliki elektabilitas.
“Kondisi ini memaksa partai harus mengakomodasi figur tersebut, dan mengabaikan kader partai sendiri. Ini bisa menurunkan otoritas partai, dan bisa menjadi sumber konflik di internal partai,” kata Burhanuddin pada Seminar Refleksi Akhir Tahun 2010, Minggu (26/12/2010) di Jakarta.
Sentimen media massa, mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat dan intelektual yang cenderung negatif dan sinis terhadap partai politik.
Berbicara soal deparpolisasi, kata dia, erat kaitannya dengan identifikasi diri dengan partai atau PartyID.
Singkatnya, partyID adalah perasaan seseorang bahwa partai tertentu adalah identitas politiknya.
Tingkat partyID di Indonesia tergolong rendah. Berdasarkan hasil survei LSI, tingkat partyID di Indonesia sejak September 2005 hingga Oktober 2010 berada di posisi 20-30 persen. Angka ini tergolong rendah.
“Ini menyebabkan volatilitas politik terlalu dinamis. Swing voters terlalu tinggi. Akibatnya, dalam tiga kali pemilu pasca Soeharto, kita mendapatkan pemenang pemilu yang berbeda-beda,” katanya. [L-8]
Sumber:sp.beritasatu