Lembaga Pengkajian MPR: Parpol Dibahas di Bab Khusus Konstitusi

Jakarta – Lembaga Pengkajian MPR menggelar Sidang Pleno III. Sidang tersebut membahas partai politik dan pemilu dalam sistem presidensial berdasarkan UUD 1945.

Sidang dipimpin oleh anggota Lembaga Pengkajian Rully Chairul Azwar di Ruang GBHN, Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa (31/1/2017). Sejumlah anggota Lembaga Pengkajian memberikan berbagai pendapat, termasuk Alfan Alfian, Irman Putra Sidin, dan Jimly Asshiddiqie.

Alfan mengatakan parpol perlu diatur tersendiri dalam bab khusus di UUD. Dalam bab khusus tersebut harus diatur bahwa parpol harus ditegaskan sebagai badan hukum.

“Jadi partai politik tak boleh menjadi milik perseorangan,” ujar Alfan.

Alfan juga menilai parpol harus dibiayai negara, dan soal besar-kecilnya anggaran, itu masalah teknis. Alfan berharap parpol berfungsi sebagai pendidikan politik dan menjamin proses demokrasi internal.

“Hal-hal demikian perlu diatur dalam bab khusus,” ungkapnya.

Dalam sidang itu, Irman menuturkan, jika dilihat dalam UUD, di satu sisi parpol ditempatkan menjadi institusi mulia, namun dalam realitas parpol menanggung beban yang demikian berat.

Menurut Irman, partai politik saat ini ditarik-tarik dalam tiga kekuatan besar, yakni pemerintah, rakyat, dan pengusaha. Irman mengatakan parpol diberi hak eksklusif, yang istimewa, sehingga bisa mengatur segalanya, mencengkeram dan menentukan segala arah kehidupan.

“Masalah harga cabai pun bisa ditentukan oleh partai politik,” katanya.

Meski parpol mempunyai hak eksklusif, bangsa ini tidak memikirkan bagaimana partai politik bisa menghidupi diri sendiri. Irman bertanya mengapa partai politik diberi tempat yang mulia? Ia menjawab mungkin hanya partai politik yang diharapkan dapat bekerja profesional dan tiap hari memikirkan soal tata negara dan pemerintahan.

Jimly Asshiddiqie menyarankan agar pemilik korporasi melepas saham sebelum memilih jalur politik. Hal itu bertujuan untuk menghindari konflik kepentingan.

“Misalnya, pengusaha kalau mau berpolitik silakan, tetapi lepas dari pengurus. Bahkan sahamnya diserahkan ke manajemen independen,” ujar Jimly.

Jimly menilai tren kekuasaan saat ini yaitu pemilik modal yang cenderung menguasai publik. Oleh sebab itulah, Jimly mengusulkan adanya pembatasan wewenang.

“Tren totalitariasme itu kekuasaan total di tangan satu orang. Si Hitler menguasai semua urusan privat. Tetapi sekarang kebalik, si pengusaha privat menguasai segala urusan publik. Suatu hari satu tangan juga, trennya ke arah itu. Maka kita dari jauh hari harus dibatasi,” kata Jimly.

“Caranya korporasi dan partai politik dipisah. Media dengan ormas harus dipisah. Ormas dengan orpol (organisasi politik) harus dipisah, tidak boleh konflik kepentingan,” sambungnya.

Selain itu, Jimly mengusulkan adanya sumbangan dari korporasi kepada partai politik melalui coorporate political responsibility (CSR). “Coorporate political responsibility itu CSR untuk politik. Jadi setiap partai politik diberi sumbangan oleh korporasi,” imbuhnya.

Mengenai pembagian dana, Jimly menjelaskan perlunya ada komisi khusus yang mengatur hal tersebut. “Tidak bisa langsung, tapi melalui komisi khusus yang mengaturnya agar membagi sama rata,” jelas Jimly.

Anggota Lembaga Pengkajian MPR periode 2015-2019 dikukuhkan oleh Ketua MPR Zulkifli Hasan pada Juli 2015. Sebanyak 60 orang menjadi anggota lembaga tersebut, salah satunya tokoh dan pakar ketatanegaraan.
(dkp/ega)

Leave a Reply