Lantik Ketua DPD, Mantan Hakim Agung Sebut MA Melanggar Hukum
TEMPO.CO, Jakarta – Mantan Hakim Agung RI Laica Marzuki mengatakan tindakan Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Nonyudisial Suwardi dalam melantik Oesman Sapta Odang sebagai Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) 2017-2019 sebagai tindakan yang melanggar hukum. Hal tersebut disampaikan Laica Marzuki saat menjadi saksi ahli pemohon Gusti Kanjeng Ratu Hemas beserta 11 anggota DPD yang menggugat tindakan MA melantik ketua DPD baru.
Laica mengatakan pemanduan pengucapan sumpah atau janji hanya dapat diberikan kepada pejabat publik yang sah dan legal. “Ketika uji materi, MA memutuskan peraturan DPD RI Nomor 1 Tahun 2017 tentang masa jabatan pimpinan DPD selama dua tahun enam bulan sudah tidak sah, maka selama masa jabatan lima tahun tidak dimungkinkan adanya penggantian pimpinan DPD baru,” ucapnya di Pengadilan Tata Usaha Negara, Jakarta Timur, Senin, 22 Mei 2017.
Laica juga membantah asumsi telah terjadi kekosongan pimpinan DPD yang memperbolehkan adanya pemilihan pimpinan DPD baru. Menurutnya, kekosongan jabatan hanya terjadi jika terdapat anggota pimpinan yang tidak dapat melaksanakan tugas atau berhalangan tetap dalam kurun waktu 5 tahun. “Misalnya ada anggota pimpinan yang meninggal atau menjadi terpidana,” ujarnya.
GKR Hemas beserta 11 anggota DPD mengirimkan surat permohonan pembatalan tindakan pelantikan dan pengambilan sumpah pimpinan DPD RI pada 7 April 2017 kepada termohon Ketua Mahkamah Agung. Menurut mereka, tindakan Wakil Ketua MA Suwandi yang menjalankan mandat dari Ketua MA untuk melantik ketua DPD baru bertentangan dengan putusan lembaga itu sendiri. Yakni putusan MA-RI Nomor 38 P/HUM/2016 dan Putusan Nomor 20 P/HUM/2017 yang membatalkan peraturan masa jabatan pimpinan MA selama 2 tahun 6 bulan dan mengembalikannya ke masa jabatan lima tahun.
Suwardi melantik pimpinan DPD periode 2017-2019 pada 4 April 2017. Oesman Sapta terpilih menjadi Ketua DPD. Wakil ketua I dan II masing-masing diisi oleh Nono Sampono serta Darmayanti Lubis. Pemilihan tersebut dianggap Hemas sebagai wujud perebutan kekuasaan pimpinan DPD yang di luar batas rasionalitas nalar politik dan hukum.