Kasus Pelantikan Ketua DPD, Ahli Hukum Ajukan Amicus Curiae ke PTUN

Jakarta – Para begawan hukum yang digawangi Prof Mahfud MD dari Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) mengajukan amicus curiae dalam sidang kasus pelantikan Ketua DPD Oesman Sapta Odang. Pandangan ini sebagai vitamin penguat majelis hakim dalam persidangan.

Ketua APHTN-HAN Korwil Jakarta, Bivitri Susanti mewakili Prof Mahfud MD bersama akademisi lainnya datang sekitar pukul 11.30 WIB, ke PTUN di Jalan Sentra Timur, Cakung, Jaktim, Jumat (2/6/2017). Turut hadir, Oce Madril dari UGM, Auliya Kasanofa dari Universitas Muhammadiyah Tangerang, Wahyu Nugroho dari Universitas Sahid, dan Tri Sulistyowati dari Universitas Trisakti.

“Kita sudah lakukan 3 kajian, focus group discussion dengan teman-teman perwakilan. Hasil diskusi kami dari APHTN-HAN, perlu berikan amikus curiae yakni pandangan sebagai sahabat peradilan, untuk memperkaya pendapat majelis hakim,” ujar Bivitri Susanti, Jumat (2/6/2017).

Dalam hal ini, Bivitri menegaskan pandangan ahli ini tidak para pihak yang bersengketa di PTUN. Namun lebih sebagai masukan kepada majelis hakim bahwa konflik ini telah membuat krisis konstitusional.

“Ini sudah krisis konstitusional, kalau tidak ada pandangan jernih kami khawatir putusan pengadilan tidak tepat,” bebernya.

“Ini sebagai suntikan vitamin supaya majelis hakim lebih kuat. Karena dari APHTN sendiri sudah clear, kalau penuntunan sumpah sudah salah secara hukum,” sambung Bivitri.

Kehadiran APHTN-HAN bukan untuk melakukan intervensi terhadap proses peradilan yang berjalan. Akan tetapi lebih sebagai pemberian pandangan kepada majelis hakim agar proses hukum berjalan independen.

“Terlebih majelis hakim berhadapan dengan atasannya (MA), sedangkan mereka juga anggota Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi). Jadi kami khawatir tidak independen. Sebagai akademisi kami merasa kewajiban menjaga independensi peradilan,” papar Bivitri.

Sedangkan Oce Madril menjelaskan mengapa melakukan amicus curiae dalam penanganan konflik DPD vs MA, karena ada ketentuan yang tidak dihormati oleh MA.

“Kita tahu problem keabsaan pimpinan DPD, bahwa dalam pandangan keahlian PTUN bertindak obyektif, imparsial dan independen. Sehingga dapat mengakhiri konflik keabsahaan dalam pimpinan DPD,” pungkas Oce.

Oce melihat sidang DPD vs MA di PTUN rentan intervensi. Meskipun secara teori intervensi tidak boleh dilakukan, tetapi secara hiraki organisasi dengan MA tidak akan menutup kemungkinan.

“Karena yang mereka hadapi atasannya, tentu ini beban psikologi luar biasa,” ujar Oce.

Oce mengatakan kalau putusan MA itu bersifat mengikat dan final, dengan diputusnya masa jabatan 5 tahun terhadap pimpinan DPD. Seharusnya penuntunan sumpah tidak lagi dilakukan MA.

“Ini makin rumit ketika MA tidak hormati putusannya tentang masa jabaatan 5 tahun, terlebih mereka malah melakukan penuntunan sumpah kepada Oesman Sapta Odang,” pungkasnya.

Sebagaimana diketahui, Wakil Ketua DPD GKR Hemas menggugat MA ke PTUN Jakarta. Menurutnya, pengambilan sumpah Ketua DPD Oesman Sapta Odang oleh Wakil Ketua MA tidak sah. Kasus ini masih diadili di PTUN Jakarta. (edo/asp)

Leave a Reply