“Jangan Samakan Yogya dengan Provinsi Lain”

JAKARTA – Tanggal 28 Juli 2016 adalah momen penting bagi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sebab, saat itu Mahkamah Konstitusi (MK) mengonfirmasi bahwa Keistimewaan DIY yang terangkum dalam Undang-Undang Keistimewaan (UUK) telah diakui oleh UUD 1945.
Saat itu, majelis hakim MK dalam putusannya menolak gugatan M Sholeh. Dia menggugat seputar persyaratan menjadi Gubernur dan Wagub DIY, tepatnya Pasal 18 ayat (1) huruf c UUK DIY yang mensyaratkan pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur DIY harus Sultan yang bertakhta di Keraton Yogyakarta dan Adipati yang bertakhta di Puro Pakualaman. Kesuksesan ini tak lepas dari peran advokat yang ditunjuk Keraton Yogyakarta untuk meyakinkan hakim konstitusi, yakni Irmanputra Sidin.
Ditemui KORAN SINDO YOGYA di Kantor Sidin Constitution A. Irmanputra Sidin & Associates Advocates & Legal Consultants, di lantai 3, Jalan Cideng Timur No 60, Jakarta Pusat, Irmanputra mengungkapkan strateginya dalam “mempertahankan” Keistimewaan DIY.
Berikut petikan wawancara kami dengan ahli tata negara tersebut, baru-baru ini:
Apa cerita di balik kemenangan DIY atas gugatan M Sholeh?
Sehubungan gugatan tersebut, Raden Mas Adwin Suryosatrianto selaku Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat memberikan kuasa kepada kami, A Irmanputra Sidin dkk selaku advokat dan konsultan hukum untuk mempertahankan Kestimewaan Yogyakarta, khususnya menyangkut penetapan Sultan Bertahkta dan Adipati Paku Alam sebagai calon/gubernur dan wakil gubernur.
Kami melihat Yogyakarta adalah bagian dari Indonesia yang istimewa. Ini dilihat dari sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Yogyakarta telah memiliki wilayah, pemerintahan dan penduduk sebelum lahirnya NKRI. Mereka juga berperan besar dalam mempertahankan, mengisi, dan menjaga keutuhan NKRI. Kami pun berupaya agar salah satu pilar keistimewaan DIY ini bisa dipertahankan.
Jadi, ketika diamanatkan oleh UUK DIY bahwa Gubernur dan Wagub DIY adalah Sultan bertakhta di Keraton Yogyakarta dan Adipati bertakhta di Puro Pakualaman, ini rasional. Dan, daerah istimewa memang diakui dalam konstitusi kita, yakni Undang-Undang Dasar 1945. Tepatnya Pasal 18 B ayat (1), sehingga pembuat UU yakni DPR dan Presiden sebagai perwujudan frasa “dipilih secara demokratis” dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 diberikan kewenangan untuk menentukan cara yang tepat dalam pilkada, termasuk di daerah khusus dan istimewa.
Di sini memang ada hak orang lain yang dibatasi. Tapi kami tegaskan masalah ini masih dalam koridor konstitusi. Pasal 28J UUD 1945 ayat (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Hakim Konstitusi menyebutkan ini adalah putusan permanen, artinya tidak bisa digugat lagi. Bagaimana strategi Anda hingga bisa putusan ini keluar?
Dalam berperkara kami tidak hanya melimpahkan masalah ke hakim. Namun juga memberikan solusi, tentunya dengan argumen yang dibuat rasional. Kami bangun frame kepada para hakim konstitusi, bahwa DIY adalah provinsi yang benar-benar istimewa. Jadi wajar jika pimpinannya (gubernur dan wagub) dipilih berdasarkan penetapan, bukan pemilihan kepada daerah langsung atau pilkada. Kami minta jangan bandingkan Yogyakarta dengan provinsi atau daerah lain.
Bisa juga karena di kalangan hakim sendiri sudah terbangun frame bahwa Yogya adalah daerah istimewa. Ini bisa dilihat dari cepatnya kasus ini diputus. Biasanya satu perkara di MK bisa memakan waktu enam bulan sampai satu tahun. Sementara kasus kita hanya memakan waktu sekitar tiga bulan.
Apakah ada kemungkinan pasal penetapan digugat kembali?
Berdasarkan putusan kemarin tidak bisa. Tapi ada kemungkinan bisa jika yang melakukan dari internal Keraton atau Kadipaten. Memang tidak menutup kemungkinan (pasal-pasal lain) untuk digugat ke MK. Tapi dengan argumen yang menguatkan pilar-pilar keistimewaan, itu (gugatan) bisa dipatahkan.
Sebagai seorang advokat, bagaimana Anda meyakinkan klien?
Saat bertemu klien atau calon klien, kami tidak pernah mengatakan menang atau kalah. Yang kami katakan, mereka harus terbuka kepada kami sebagai pengacaranya, kasus hukum apapun itu. Dengan keterbukaan mereka, maka masalah hukum yang dihadapinya bisa kami carikan solusinya. Yang jelas dalam pembelaan, tuntutan, kami mengedepankan rasionalitas dan moralitas. Jangan keluar dari basic itu. Melalui keterbukaan itu pula dapat disusun tuntutan atau pembelaan dengan solusinya di persidangan. Jadi hakim tidak hanya dibebankan masalah, tapi juga diberikan solusi dari masalah itu beserta argumennya.
Apa respons Anda terkait maraknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap advokat, orang yang berperkara, dan perangkat pengadilan belakangan ini?
Secara pribadi, saya sangat mendukung KPK memberantas mafia peradilan di pengadilan. Konspirasi jahat mereka membuat profesi kami mati. Advokat bersama perangkat pengadilan seharusnya membangun peradilan beradasarkan rasional dan nurani. Mari kita bertarung gagasan, rasionalitas di pengadilan. Bukan malah membuat hubungan haram yang mematikan nurani kita.
Kalau sudah begini, yang ada di pikiran klien adalah kunci memenangkan perkara adalah uang. Imbasnya, tak ada pertarungan ide, gagasan, rasionalitas di pengadilan. Tugas advokat untuk membaca kitab hukum, literatur yurisprudensi kasus, dan perkembangan hukum yang terjadi juga akan hilang. Karena dipikirannya, untuk menang perkara adalah uang. Jadi mari kita bertarung membentuk frame, memberikan solusi terbaik kepada majelis hakim.
Karena itu, kami di Kantor Sidin Constitution A Irmanputra Sidin & Associates Advocates & Legal Consultants selalu mengedepankan rasionalitas dan nurani dalam menangani kasus. Ketika calon klien datang, kami minta keterbukaan atas masalah yang dihadapinya. Dengan keterbukaan, kami susun solusinya agar masalah hukumnya cepat tuntas. Ingat tidak semua kasus hukum harus diselesaikan di meja hijau.