Jabatan Pimpinan DPD Tetap 5 Tahun
Jakarta – Mahkamah Agung (MA) memutuskan bahwa masa jabatan pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) adalah 5 tahun sesuai masa jabatan keanggotaaan dan pemberlakuan surut terhadap ketentuan itu bertentangan dengan UU No.12 /2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Putusan MA No 20P/HUM/2017 tersebut dikeluarkan pada Rabu (29/3). Keputusan MA ini mengakhiri polemik di antara anggota DPD mengenai masa jabatan pimpinan DPD, apakah lima tahun atau 2,5 tahun sesuai dengan Tatib yang diputuskan dalam paripurna DPD beberapa waktu lalu. Awal April mendatang, DPD berencana memilih Ketua DPD baru pengganti Ketua Irman Gusman yang terjerat kasus korupsi. Ketua DPD sementara diisi oleh Moh Saleh.
Sebelumnya, sejumlah anggota DPD mengajukan permohonanan judusial review Peraturan Tata Tertib DPD Nomor 1 /2017 terkait atas pemotongan masa jabatan pimpinan DPD dan memberlakusurutkan kepada pimpinan DPD yang menjabat. Mereka yang mengajukan permohonan itu adalah Anang Prihantoro, Marhany Victor Poly Pua, Djasarmen Purba, H.M. Sofwat Had, Denty Eka Widi Pratiwi, dan Anna Latuconsina.
Dalam pertimbangannya sebagaimana dimuat secara lengkap dalam laman Mahkamah Agung, MA menyatakan bahwa masa jabatan pimpinan MPR dan DPR secara eksplisit diatur pada Pasal 24 Jo Pasal 8 ayat (2) Peraturan MPR RI Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib yaitu masa jabatan Pimpinan MPR sama dengan masa jabatan keanggotaan MPR adalah 5 tahun. Sedangkan untuk Pimpinan DPR diatur pada Pasal 27 Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib, yaitu masa jabatan pimpinan DPR sama dengan masa keanggotaan DPR adalah 5 (lima) tahun.
Dipandang dari karakteristiknya, DPD berada di dalam satu rumpun dengan MPR dan DPR, yaitu sebagai Lembaga Perwakilan, sebagaimana diatur pada UndangUndang Nomor 17 Tahun 2014. Menurut MA, pada hakikatnya pengabdian setiap negarawan, termasuk anggota DPD, pada tingkat tertinggi adalah kepada bangsa dan negara. Anggota DPD yang terpilih menjadi pimpinan, memimpin lembaga yang tugas utamanya adalah menyerap dan mengartikulasikan aspirasi daerah, sehingga dengan jabatan tersebut saluran aspirasi dari daerah dapat terwakili dalam proses pengambilan keputusan nasional.
Namun demikian, tidak seperti MPR/DPR, DPD tidak dicalonkan melalui partai politik. Oleh sebab itu, tidak terdapat pengelompokan kekuatan politik di dalamnya. Menjadi pimpinan lembaga bukanlah untuk mewakili kelompok tertentu, melainkan untuk institusi DPD itu sendiri. Karena itu tidak sepatutnya bila jabatan pimpinan DPD tersebut dipergilirkan. Menggilir jabatan pimpinan DPD dapat menimbulkan kesan berbagi kekuasaan.
Tidak Sah
Pengamat hukum tata negara Irmanputra Sidin kepada Koran Jakarta mengatakan, MA akhirnya mengajarkan kepada parlemen bahwa hukum harus di atas segalanya, politik mayoritas harus tunduk kepada Negara hukum, tidak boleh parlemen hanya karena mayoritas membuat aturan yang bertentangan dengan prinsiop Negara hukum maka hal tersebut menjadi produk hukum yang sah. Karena itu lanjut Irman, pemilihan pimpinan DPD yang sedianya akan dilaksanakan 3 April 2017 tidak bisa dilaksanakan.
Apabila dilaksanakan maka hasilnya tidak sah. “Jika pemilihan tetap digelar, maka hal itu akan dinilai menciptakan negara dalam negara, karena mustahil Ketua MA akan mengambil sumpah pimpinan DPD terpilih yang didasarkan oleh Peraturan Tata tertib DPD yang sudah dibatalkannya.” tegas Irman. sur/AR-3