Irmanputra Sidin Sarankan DPR Rekonstruksi Ulang Hukum Tata Negara

Berkaca dari kasus KPK versus Polri, Pengamat Politik yang juga pendiri Sidin Constitution Irmanputra Sidin berharap DPR merekonstruksi ulang sistim Hukum Ketatanegaraan Republik Indonesia agar tidak terjadi gesekan-gesekan antar lembaga. Ia menyarankan, agar persoalan hirarki kelembagaan negara ini bisa dipertimbangkan lagi, untuk memperbaiki proses ketatanegaraan lebih baik lagi.

 “Saya sarankan teman-teman di DPR, membuat lagi rekonstruksi sistem hukum ketatanegaraan kita, agar tidak adalagi gesekan-gesekan,” katanya dalam diskusi Empat Pilar MPR di Jakarta, Senin (18/5/2015).

Keberadaan lembaga yang bersifat independen, yang dibuat di luar tiga cabang kekuasaan negara yakni eksekutif (Presiden), Legislatif (DPR) dan yudikatif (Mahkamah Agung), dinilai dapat berdampak negatif apabila dalam prosesnya ternyata tidak dapat menjalankan sesuai dengan tugas dan fungsinya.

Sebab, apabila lembaga negara dinilai gagal dalam menjalankan tugas, maka tidak ada pihak yang bisa dimintai tanggung jawab, atas kesalahan yang dilakukan oleh pejabat lembaga negara yang bersifat independen tersebut.

“Jadi kalau terlalu independen, maka ketika lembaga independen itu gagal dalam menjalankan tugasnya, siapa yang bisa dimintai tanggung jawab,” kata Pakar Hukum Tata Negara ini.
Irman merujuk pada kasus perseteruan KPK-Polri yang selalu berulang kali terjadi, sejak mencuat kasus Cicak-Buaya hingga kasus ketidakharmonisan dua lembaga negara itu pasca penetapan tersangka Komjen Budi Gunawan, yang dianggap internal Polri, pimpinan KPK menyalahi aturan dan bertindak sewenang-wenang.
Ketika sejumlah pihak meminta tanggung jawab pimpinan KPK, atas kebijakan-kebijakan yang dinilai menyalahi aturan, para pimpinan lembaga anti korupsi itu menyerahkannya kepada Presiden dan DPR sebagai pemegang kekuasan negara yang telah memilihnya.
“Tapi, ketika yang dimintai tanggung jawab Presiden, presiden pun berkilah kewenangannya hanya menyeleksi calon pimpinan KPK. Begitu juga DPR yang telah memilihnya, beralasan dalam tiap kali rapat SOP-nya pun, nggak pernah diberi KPK dengan alasan rahasia negara,” imbuhnya.
Oleh karena itu, kasus pelanggaran hukum pimpinan KPK, seharusnya bisa menjadi pelajaran, bahwa sistem ketatanegaraan dalam penyelenggara negara harus terikat pada rumpun kekuasaan yang terbagi dalam tiga cabang kekuasaan negara itu.
Sistem di KPK, yang tidak terikat pada rumpun manapun dalam cabang kekuasaan negara itu, menyebabkan para pimpinannya cenderung bertindak sewenang-wenang, karena tidak ada atasannya yang bisa dimintai tanggung jawab.
“Sebaiknya, tidak bisa lagi diciptakan lembaga negara di luar tiga cabang kekuasaan negara itu, DPR, Presiden dan MA. Kalaupun mau diciptakan, harus dilihat tugas dan fungsinya lebih dekat ke mana. Kalau misalnya lebih dekat pada fungsi-fungsi pemerintah, sebaiknya dimasukkan dalam ranah eksekutif,” terangnya.
(Sumber: BatamToday.com)

Leave a Reply