Irman Dampingi Bakal Calon Bupati Pinrang Gugat UU Pilkada

Bakal Calon Bupati Kabupaten Pinrang, Provinsi Sulawesi Selatan Irwan Hamid menggugat ketentuan yang mengatur definisi konflik kepentingan dalam Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada). Sidang perdana perkara yang teregistrasi dengan No. 79/PUU-XIII/2015 tersebut digelar Rabu (1/7), di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK).

Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 7 huruf r UU Pilkada berikut Penjelasannya karena pasal a quo telah membatasi, menyimpang, meniadakan, dan menghapus hak Pemohon untuk dapat dipilih dalam pemilihan bupati sebanyak dua kali di Kabupaten Pinrang, Provinsi Sulawesi Selatan. Hal tersebut disampaikan Andi Irmanputra Sidin selaku kuasa hukum Pemohon.

Di hadapan panel hakim yang diketuai Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, Irman menyampaikan Pemohon keberatan dengan salah satu definisi konflik kepentingan yang menyebutkan ipar sebagai salah satu hubungan yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Pemohon merasa ketentuan tersebut sangat merugikan hak konstitusional Pemohon karena Pemohon tidak pernah membayangkan bisa mengendalikan saudara kandungnya untuk menikah dengan orang tertentu. Menjadi sangat merugikan bagi Pemohon, bila saat iparnya menjadi kelapa daerah maka Pemohon tiba-tiba jadi ikut bertanggung jawab secara politik akibat hubungan hukum ikatan perkawinan yang dilakukan oleh saudara kandung Pemohon.

“Padahal ketika saudara kandungnya menikah, yang bersangkutan sebagai warga negara (Pemohon, red) tidak pernah mendapatkan hak-hak keperdapataan seperti hak waris akibat menjadi ipar. Nah, tiba-tiba negara melakukan vonis bahwa hak politiknya dicabut karena dia menjadi ipar,” jelas Irman.

Menurut Irman, konflik kepentingan akibat hubungan perkawinan seperti yang terjadi antara suami-istri justru dapat dipahami. Karena, antara suami-istri terdapat ikatan lahir batin di antara keduanya. Justru, lanjut Irman, ipar yang didefinisikan dapat menimbulkan konflik kepentingan sejatinya secara hukum tidak mendapatkan hak keperdataan apapun seperti yang dialami hubungan anak, suami, maupun istri.

Pemohon melihat dimasukkannya ipar ke dalam definisi hubungan yang dapat menimbulkan konflik kepentingan, disebabkan adanya fenomena politik dalam proses Pilkada di beberapa daerah. Meski di beberapa daerah hubungan ipar bisa berpotensi menimbulkan konflik kepentingan antar petahana dengan bakal calon, Pemohon menampik hal yang sama dapat terjadi pada dirinya. “Sangat berbeda dengan pengalaman Pemohon yang justru ipar Pemohon Prinsipal kami adalah seteru Pemohon dalam dua kali Pilkada yang dia ikuti selama ini yakni pada  tahun 2013 dan 2008 di Kabupaten Pinrang,” ungkap Irman lagi.

Oleh karena itu, Pemohon meminta Mahkamah untuk  menyatakan Pasal 7 huruf r UU Pilkada termasuk penjelasannya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Saran Hakim

Usai mendengarkan paparan Pemohon, Hakim Konstitusi Suhartoyo selaku anggota panel hakim dalam perkara ini menyarankan Pemohon memperjelas kedudukan hukumnya. Sebab, dalam bukti yang diajukan Pemohon, Suhartoyo belum melihat keterkaitan Pemohon dengan pihak petahana tertentu.

“Apakah ada ipar yang juga sekarang incumbent ataukah sama-sama mau jadi peserta kami belum mendapatkan buktinya yang baru. Karena itu untuk pintu masuk bahwa betul-betul klien Bapak itu mempunyai kerugian konstitusional,” saran Suhartoyo kepada Irman.

Sementara itu, Palguna menyampaikan bahwa ada lebih dari dua permohonan serupa dengan permohonan Pemohon. Perkara-perkara yang menggugat definisi konflik kepentingan dalam UU Pilkada itu sudah selesai persidangannya.

“Oleh karena itu, tapi ini penawaran sebenarnya kalau ini mau ditarik permohonan ini sebenarnya juga sudah ada yang mewakili sesungguhnya di permohonan yang lain yang sudah selesai persidangannya. Tapi seandainya tidak, menurut undang-undang Pemohon diberikan waktu 14 hari untuk melakukan perbaikan permohonan. Tetapi ini sudah mau lebaran jadi 14 harinya pas kenanya sudah libur. Nah, oleh karena itu kami menyarankan Perbaikannya juga sedikit, andaikata mau diteruskan bisa kiranya perbaikan itu diserahkan pada hari Jumat pada pukul 14.00 WIB? Karena ini sedikit sekali, sehingga pada hari Senin tanggal 6 Juli kita sudah bisa menyidangkan perbaikan permohonan ini,” ungkap Palguna yang kemudian disanggupi oleh Pemohon untuk menyerahkan perbaikan permohonan pada tanggal 3 Juli 2015.

Sumber: mahkamahkonstitusi.go.id

Leave a Reply