IPS Meminta Presiden Tunjuk Langsung Pimpinan KPK
Presiden Joko Widodo diminta mengambil alih komando pemberantasan korupsi dengan menunjuk langung pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Alasannya, untuk membentuk strategi pemberantasan korupsi baik dalam bentuk penindakan dan pencegahan.
“Kita harus memikir kembalikan tongkat komando pemberantasan korupsi ke presiden. Biar presiden efektif memilih dan DPR mengawasi,” ujar pakar hukum pidana, Irman Putra Sidin, saat diskusi di kawasan Cikini, Jakarta, Sabtu (30/5).
Strategi tersebut dinilai sebagai bentuk pertanggungjawaban presiden sebagai pimpinan negara. “Jadi tidak akan ada lempar tangan,” katanya.
Selama ini, presiden dinilai tak berperan penuh dalam memberantas korupsi. Apabila mencuat kritik soal pimpinan komisi antirasuah, presiden pun tak dapat menjawab.
“Presiden hanya seperti tukang pos untuk memilih pimpinan KPK. Presiden hanya menunjuk panitia seleksi. Kalau sudah terpilih, pansel menyerahkan ke presiden dan selanjutnya presiden mengirim ke DPR,” katanya.
Dalam beberapa kasus, Irman menjelaskan, DPR tak sepakat soal calon yang diusulkan oleh panitia seleksi. “Nah sekarang siapa calonnya? Malah yang panitia seleksi sembilan Srikandi ini justru jangan-jangan yang terpilih dan bisa menjadi pimpinan KPK,” ucapnya.
Mengamini Irman, Wakil Ketua DPR Fadli Zon menilai presiden perlu mengambil alih posisi pemilihan pimpinan lembaga anitrasuah dalam pemberantasan korupsi.
“Komando pemberantasan korupsi dipimpin secara sentralistik dari atas. Kalau bisa dilakukan, bisa memperkuat sistem presidensialisme,” katanya.
Menurutnya, presiden sebagai pemegang komando paling tinggi dalam sebuah negara, dapat mengontrol bawahannya. “Kalau berani, kita ganti satu strategi. Kalau bisa dilakukan akan lebih baik. Seringkali korupsi dari atas. Kalau yang di atas melakukan, yang di bawah jadi ikut,” ujarnya.
Fadli menilai, perlu ada juga mekanisme tersendiri untuk memilih pimpinan komisi antirasuah oleh presiden. Pemilihan tersebut juga didorong menjadi suatu hak prerogatif presiden.
“Tapi kemudian.jangan samapai seperti pemilihan menteri dan minta tolong KPK. Itu maksud memang bagus tapi caranya salah,” kata Fadli.
Lebih jauh, Fadli berpendapat, komisioner yang terpilih haruslah bebas dari kepentingan politik. “Komisioner harus telah selesai urusannya dan bebas dari partai politik,” katanya.
Kendati demikian, hingga saat ini mekanisme pemilihan pimpinan komisi antirasuah masih melalui panitia seleksi merujuk pada UU KPK. Panitia terdiri dari sembilan orang yang ditunjuk Presiden Jokowi.
Mereka adalah ekonom Destry Damayanti, pakar hukum tata negara UGM Enny Nurbaningsih, Ketua Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Hukum dan HAM Harkristuti Harkrisnowo, dan mantan General Manager IBM ASEAN dan Asia Selatan Betti S. Alisjahbana.
Selanjutnya ada juga pakar cuci uang Universitas Trisakti Yenti Garnasih, psikolog Supra Wimbarti, Sekretaris Tim Independen Reformasi Birokrasi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Natalia Subagyo, Direktur Analisa Peraturan Perundang-Undangan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Dani Sadiawati, dan sosiolog korupsi Meuthia Ganie-Rochman.
Pansel bertugas memilih kandidat calon pimpinan komisi antirasuah untuk diserahkan ke presiden. Nantinya, nama-nama itu bakal diuji kelayakan dan kepatutannyaboleh anggita dewan sebelum diangkat oleh presiden melalui Keputusan Presiden. (Sumber: CNNIndonesia.com)