(021) - 296 - 082 - 04 Contact@SidinConstitution.co.id

ANCAMAN KH MA’RUF AMIN DAN SADAPAN SBY

INDOPOS.CO.ID – Jutaan warga Nahdlatul Ulama (NU) di seluruh Indonesia marah. Mereka tidak terima cecaran dan ancaman kepada Rais Aam Pengurus Besar NU (PBNU), yang juga Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI)  KH Ma’ruf Amin ketika menjadi saksi dalam sidang penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada Selasa (1/2) lalu.

Dalam persidangan itu, Ma’ruf Amin dihadirkan dalam kapasitasnya sebagai saksi ahli. Dia dimintai pendapat terkait dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok terkait surat Al Maidah ayat 51. Namun, bukannya fokus pada permasalahan itu, Ahok bersama tim kuasa hukumnya banyak mencecar Amin dengan perntanyaan berbau politis. Khususnya terkait pemilihan gubernur DKI Jakarta dimana Ahok menjadi salah satu calonnya.

Bahkan, ada kalimat dari pihak Ahok yang menyebut akan mempolisikan Ma’ruf Amin apabila dia memberikan keterangan palsu. Total, pria yang sudah berusia 74 tahun dicecar selama tujuh jam dalam persidangan. Hadir menjadi saksi, Ma’ruf  malah terkesan sebagai terdakwa dalam persidangan itu.

Ma’ruf adalah Rois Aam PB NU selain menjadi ketua umum MUI. Dia menjadi salah satu kyai yang paling dihormati warga nahdliyin. Posisi itulah yang membuat warga NU marah ketika Ma’ruf diperlakukan kurang patut dalam sidang.

Gerakan Pemuda (GP) Ansor mengecam keras pernyataan Ahok dan tim kuasa hukumnya dalam sidang. ”Ahok bersama tim kuasa hukumnya memelintir situasi dan seolah-olah menempatkan Kyai Ma’ruf sebagai terdakwa. Kata-kata Ahok itu melukai hati warga nahdiyin,” kata Ketua Umum PP GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas.

Yaqut menilai pertanyaan maupun tuduhan serta kata-kata kasar yang ditujukan kepada Ma’ruf cenderung menyerang pribadi. Bukan mematahkan argumen yang disampaikan di persidangan. ”GP Ansor juga memperingatkan kepada pendukung terdakwa (Ahok, Red) untuk segera menghentikan upaya-upaya yang menyudutkan KH Ma’ruf Amin. Karena akan semakin memperuncing suasana dan berpotensi menimbulkan konflik horisontal,” tegas dia.

Saat disodori foto pernyataan minta maaf Ahok, Yaqut menuturkan kalau GP Ansor tunduk pada Kyai Ma’ruf. Bila Kyai Ma’ruf memaafkan, tentu mereka juga akan mengikuti. ”Tapi soal sikap, tergantung pada Ahok. Itu permintaan maaf di mulut atau memang keluar dari hati?” tambah dia.

MUI pun tidak bisa menerima perlakukan terhadap Ma’ruf dalam persidangan. ’’Karena kasus Ahok ini murni kasus hukum, maka penyelesaian secara hukum adalah jalan yang paling terhormat,’’ kata Ketua MUI Zainut Tauhid Sa’adi.

Dia menyayangkan sikap dari kubu Ahok yang memposisikan Ma’ruf seakan-akan sebagai terdakwa dalam persidangan itu. Saat penyampaikan kesaksian itu, Zainut mengatakan bahwa pihak Ahok menyecar pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan. Selain itu menggunakan bahasa yang sarkastik, tendesius, dan cenderung fitnah. ’’Lebih dari tujuh jam beliau diadili layaknya seorang terpidana,’’ katanya.

Yang paling menyakitkan, menurut Zainut dengan sombong Ahok berniat mempolisikan Ma’ruf karena tuduhan memberikan kesaksian palsu. Terkait situasi yang memanas, Zainut mengingatkan kepada seluruh umat Islam supaya tetap tenang. Dia mengatakan umat Islam tidak perlu terprovokasi dan terpancing oleh hasutan melakukan tindakan melanggar hukum. Dia berharap umat Islam tetap mengedepankan semangat ukhuwah Islamiyah dan menjaga persatuan serta kesatuan bangsa.

Sekretaris Komisi Fatwa MUI sekaligus Katib Syuriah PBNU Asrorun Niam Sholeh menceritakan situasi paruh kedua sidang ke-8 Ahok Selasa (31/1) lalu sudah tidak kondusif. Sebab pihak Ahok mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tidak mengarah pada substansi. ’’Pertanyaan sangat politis,’’ jelasnya.

Asrorun menjelaskan soal tuduhan pihak Ahok yang menyebut Ma’ruf menyembunyikan pekerjaannya sebagai mantan Wantimpres. Dia menuturkan di dalam BAP disebutkan bahwa pekerjaan Ma’ruf ada 12 jenis. Pekerjaan yang sudah tidak aktif seperti Wantimpres, anggota DPR, dan Ketua Komisi VIII tidak disebutkan.

Dia juga mengklarifikasi soal sambungan telepon antara Ma’ruf Amin dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Yang kemudian disebut pihak Ahok sebagai komunikasi supaya pasangan Agus-Sylvi bisa diatur berkunjung ke kantor PBNU. Selain itu komunikasi antara Ma’ruf dengan SBY berisi permintaan supaya MUI mempercepat keluarnya fatwa terkait Ahok.

’’Bahwa ada komunikasi antara Kiai Ma’ruf dengan SBY iya. Sudah dikonfirmasi sejak jauh-jauh hari,’’ katanya.

Asrorun menegaskan, percakapan via telepon itu tidak dirahasiakan. Namun yang menjadi ganjalan adalah, tudingan bahwa percakapan itu soal pilkada dan fatwa Ahok.

Ketua MK periode 2008-2013 Mahfud MD menuturkan. dalam sidang Ahok ke-8 telah terjadi dua masalah. Pertama adalah masalah penghardikan serta fitnah. Seperti fitnah KH Ma’ruf menyembunyikan identitasnya. ’’Kalau yang ini, selama Kiai Ma’ruf memberikan maaf, urusan selesai,’’ jelasnya.

Nah masalah krusial yang kedua adalah, dalam persidangan itu terindikasi kuat kubu Ahok memiliki rekaman hasil penyadapan percakapan antara Ma’ruf dengan SBY. ’’Jelas sekali dan diucapkan berkali-kali dalam persidangan,’’ katanya. Di antara indikasi yang kentara adalah pihak Ahok menyampaikan detail waktu percakapan yakni 10.51 WIB dan 10.16 WIB. ’’Penyadapan ini pelanggaran luar biasa,’’ jelasnya.

Penyadapan masuk kategori bukan delik pengaduan, sehingga polisi bisa langsung mengusutnya. Polisi dapat menanyakan langsung ke Ahok dan jajaran penasehat hukumnya, soal bukti penyadapan itu. Terkait ancaman hukumannya, merujuk UU ITE lama kurungannya 10 tahun. Sedangkan merujuk UU Telekomunikasi, ancaman pidananya 15 tahun penjara.

Kalaupun ada percakan antara Ma’ruf dengan SBY, Mahfud mengatakan itu bukan pidana atau kejahatan. Apalagi isinya soal kunjungan ke PBNU. Kalaupun benar ada percakapan soal permintaan fatwa Ahok kepada MUI, Mahfud mengatakan juga bukan pidana. ’’Itu politik. Silakan dibuat opini publik saat kampanye,’’ jelasnya.

Menurut Anggota Komisi I DPR Jazuli Juwaini, Ahok harus membuktikan tuduhan rekaman itu, sehingga hal itu tidak berujung pada fitnah. “Jangan jadi fitnah. Tunjukkan saja,” kata Jazuli, kepada INDOPOS di Jakarta, kemarin.

Setelah benar menunjukkan adanya penyadapan itu, kata Jazuli, baru publik bisa mempertanyakan untuk apa sadapan itu dilakukan. Karena menurut Jazuli, tidak sepantasnya seseorang melakukan penyadapan.  “Justru yang dikejar atas dasar apa Ahok mengatakan punya data (rekaman) itu. Sebagai apa pula dia menyimpan data itu, dan punya wewenangan apa dia mendapat data itu,” cetusnya.

Lalu, apakah perlu meminta keterangan dari BIN? “Ngapain nanya ke BIN. Suruh si Ahok nya dulu jelasin darimana itu data didapatkan,” terangnya. Kemudian terkait ucapan Ahok terhadap KH Ma’ruf Amin berbohong dalam kesaksian, kata Ketua Fraksi PKS di DPR ini, adalah sebuah pelecehan terhadap ulama dan tidak pantas serta tak  proporsional. “Ahok dan pengacaranya harusnya paham posisi KH Ma’ruf sebagai ulama sepuh yang dihormati berbagai kalangan. Beliau Ketua Umum MUI, penghulunya para ulama, sekaligus menduduki jabatan tertinggi di dalam struktur PB NU sebagai Rais Aam,” kata Jazuli.

Atas sikap Ahok dan pengacaranya yang terkesan tendensius karena menyerang integritas pribadi Kyai Ma’ruf, maka, katanya, wajar jika kalangan Nahdliyin protes keras, baik disampaikan langsung oleh PB NU maupun elemen-elemen organisasinya. “Ini yang saya bilang Ahok tidak etis dan juga tidak proporsional. Perihal kesaksian Kyai Ma’ruf seharusnya adalah tentang sikap keagamaan MUI tentang penistaan agama yang dilakukan Ahok dalam kasus “Al-Maidah 51″ tapi kenapa malah menyerang integritas pribadi Kyai yang kita muliakan bersama,” tegas Jazuli.

Dalam pandangan Jazuli, tentu saja MUI punya kredibilitas sebagai lembaga pemberi fatwa, prosesnya dilakukan secara prosedural, dan fatwa MUI tidak untuk diperdebatkan sebaliknya harus dihormati.  “Maka ketika Ahok dan pengacaranya menyoal kredibilitas fatwa MUI lalu secara tendensius dan membabi buta menyerang integritas pribadi ulama sekelas Kyai Ma’ruf tentunya akan mendapatkan respon keras dari elemen umat Islam,” tegasnya.

Untuk itu, ia meminta semua pihak, tidak hanya Ahok, untuk menempatkan ulama dan fatwa-fatwanya pada posisi terhormat, Dan jangan melecehkan. “Beliau-beliau atau ulama itu panutan umat, jangan dilecehkan dan direndahkan,” tandasnya.

Pernyataan serupa juga diutarakan Anggota Komisi I dari Fraksi Partai Demokrat Nurhayati Ali Assegaf. Ia menyatakan, klaim Ahok  memiliki bukti sadapan telepon  KH Ma’ruf Amin dengan SBY harus didalami secara serius. Apakah ada keterlibatan dari BIN yang saat ini dipimpin oleh Jenderal (Pol) Budi Gunawan?  “Ini yang akan kita panggil BIN, kita tanyakan dari mana Ahok dapat rekaman,” ucapnya.

Sebab, kata dia, pihak yang merekam secara ilegal dapat dijerat dengan Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).‎ “Ini tanggung jawab siapa kok orang bisa suka-suka menyadap, apalagi yang disadap itu presiden Republik Indonesia ke enam,” paparnya.

Menurut dia, pemerintah harus hadir meluruskan apa yang sebenarnya terjadi terkait klaim Ahok tersebut. Bagaimana bisa Ahok memiliki rekaman percakapan SBY dengan Kiai Ma’ruf Amin.  “Kokbisa itu dijadikan alat untuk mengancam Rois Aam PBNU ini kan organisasi umat Islam yang begitu besar dan bersejarah,” ucapnya.

Adapun tindakan Ahok yang mengancam akan memproses hukum Ma’ruf Amin juga dikritiknya.‎ “Ahok merasa sakti sehingga dia mengumbar hawa nafsunya dan semua dilawan, dilecehkan tim penasihat hukumnya, harus bisa membedakan meskipun di pengadilan masih bisa berlaku sopan,” pungkasnya.

Apa yang diucapkan Nurhayati ini juga diamini Ahli Hukum Tata Negara Irmanputra Sidin. Ia menjelaskan penyadapan tidak bisa dilakukan oleh setiap orang. Bahkan Irman menegaskan lembaga negara pun tidak boleh melakukan penyadapan jika tidak diberikan otoritas oleh UU ITE. Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”

“Karenanya tindakan penyadapan (interception, Red) termasuk di dalamnya perekaman adalah perbuatan melawan hukum,” ujarnya.

Irman mengatakan, penyadapan merupakan sebuah tindakan yang melanggar privasi orang lain, sehingga melanggar hak asasi manusia (HAM). Ditegaskan, penyadapan yang di dalamnya termasuk perekaman hanya boleh dilakukan berdasarkan Undang-Undang.

Bahkan dalam konteks penegakan hukum sekalipun, pemberian kewenangan penyadapan sudah seharusnya sangat dibatasi untuk menghindari potensi digunakannya penyadapan secara sewenang- wenang. “Jikalau ada penyadapan diluar kerangka di atas maka hak tersebut adalah kejahatan terhadap konstitusi dan hak asasi manusia dan tentunya hasil penyadapannya tidak memiliki basis legalitas dan konstitusional,” jelasnya. (jun/wan/rya/wan/dil)

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x